GANGGUAN
KESEIMBANGAN
CAIRAN DAN
ELEKTROLIT
1.
FISIOLOGIS
Secara fisiologis dan klinis, metabolisme air dan natrium
berhubungan erat. Kandungan natrium tubuh tergantung pada keseimbangan antara
asupan (intake) dari makanan dan ekskresi dari ginjal. Pada keadaan sehat
kehilangan natrium melalui ginjal dapat diabaikan. Jumlah air di dalam tubuh pada wanita kira-kira
50 % dari berat badan, sedangkan pada pria 60 %. Air didistribusikan dalam dua
ruangan utama yaitu 55-75 % di dalam intrasel dan 25-45 % di ekstrasel. Cairan
di ekstrasel ini dibagi lagi menjadi intravaskular (plasma) dan ekstravaskular
(interstitial) dengan perbandingan 1 dan 3. Konsentrasi zat terlarut (solut) atau partikel di dalam
cairan yang dinamakan osmolalitas dinyatakan dalam satuan mOsmol/kg H2O. Karena
sebagian besar membran sel permeabel bebas terhadap air, maka keseimbangan
osmotik antara cairan intraseluler dan ekstraseluler secara ketat dipertahankan
dengan perpindahan cairan yang sesuai antara ruangan-ruangan ini. Air bergerak
melewati membran sel untuk mencapai suatu keseimbangan osmotic ( osmolalitas
cairan ekstrasel = intrasel ). Partikel utama di ekstrasel adalah Na+, Cl- dan
HCO3-, sedangkan di intrasel adalah K+ dan berbagai organic phosphat. Oleh
karena Na+ sebagian besar berada di ekstrasel, maka kadarnya merefleksikan
volume ekstrasel demikian pula halnya untuk K+ yang ada di intrasel. Jumlah
partikel di dalam intrasel relatif konstan, oleh karenanya perubahan
osmolalitas di intrasel umumnya disebabkan oleh perubahan jumlah air. Akan
tetapi pada kondisi tertentu ada mekanisme yang disebut adaptasi osmotic
sehingga akan mencegah perubahan air yang berlebihan , misalnya pada keadaan
kronik hiponatremia dan hipernatremia.
Pergerakan air antar ruang intravaskular dan interstitial
melalui dinding kapiler dan ditentukan oleh hukum Starling, tekanan hidrostatik kapiler dan tekanan
osmotic koloid. Kembalinya cairan
ke dalam ruang intravaskular melalui aliran limfa.
Ekskresi
Kalium diatur oleh nefron distal. Peningkatan ekskresi disebabkan oleh
peningkatan penghantaran Natrium ke distal, peningkatan kecepatan aliran urine,
alkalosis metabolik, peningkatan aldosteron
dan peningkatan elektronegativitas lumen.
1.1 KESEIMBANGAN
AIR
Osmolalitas plasma normal adalah 275
sampai 290 mosmol/kg, dengan perubahan kepekatan (tonisitas) 1 sampai 2 persen.
Untuk menjaga homeostasis perlu
keseimbangan antara asupan (intake) air dengan keluaran (output) air. Keseimbangan
ini tergantung pada (a) pemasukan air dan mekanisme haus yang sempurna, (b)
kehilangan air melalui ekstrarenal, (c) ekskresi yang sesuai dari larutan dan
air melalui ginjal, dan (d) biosintesis, respon dan pengeluaran ADH. Gangguan
pada keseimbangan cairan akan menyebabkan hipo atau hipernatremia. Pengeluaran air yang normal melalui urine, feses
dan evaporasi melalui kulit serta paru-paru.
Asupan (Intake)
Air
Rasa haus merupakan stimulus primer
terjadinya asupan air melalui peningkatan osmolalitas atau penurunan volume
cairan ekstrasel atau penurunan tekanan darah. Batas ambang rata-rata untuk
timbulnya rasa haus adalah 295 mosmol/kg.
Keluaran (Output)
Air
Faktor yang menentukan ekskresi air di
ginjal adalah arginine vasopresin (AVP; bentuk antidiuretik hormon), yang
menyebabkan resorbsi air secara pasif oleh karena gradien osmotic dari lumen
ductus collecting ke interstitium medulla ginjal yang hipertonik. Stimulus
mayor sekresi AVP adalah hipertonisitas yang ditentukan oleh konsentrasi
natrium plasma.
Faktor non osmotic yang mempengaruhi
sekresi AVP adalah volume sirkulasi efektif (arterial) melalui baroresptor di
sinus karotis. Tetapi pada kenyataannya penurunan tekanan darah mempunyai efek
yang lebih besar dalam merangsang baroresptor.
Untuk menjaga keseimbangan cairan dan
konsentrasi Natrium plasma, jumlah solute yang masuk harus seimbang dengan yang
keluar. Ada 3 langkah yang diperlukan ginjal untuk mengeluarkan cairan, yaitu :
(1) filtrasi, (2) resorbsi aktif Natrium dan Chlorida tanpa air di loop of
Henle bagian ascending dan bagian distal nefron dan (3) impermaebilitas
terhadap air di ductus collectivus.
1.2 KESIMBANGAN NATRIUM
Natrium secara aktif dipompa keluar oleh
Na+K+ATPase pump. Sangat penting untuk membedakan antara gangguan osmoregulasi
dengan gangguan regulasi volume karena keseimbangan air dan natrium melalui
mekanisme yang berbeda. Perubahan
konsentrasi natrium merefleksikan adanya perubahan keseimbangan air dan volume
ekstrasel.
2. HIPOVOLEMIA
2.1 Etiologi
Hipovolemia pada umumnya mencerminkan
keadaan hilangnya air dan garam melebihi intake yang masuk yang mengakibatkan
kurangnya volume ekstrasel. Kehilangan natrium dapat terjadi oleh karena factor
renal atau ekstrarenal.
2.1.1 Volume ekstrasel berkurang
A. Kehilangan
Natrium ekstrarenal
1. Gastrointestinal ( muntah, diare, NGT, drain
)
2. Kulit/resptrasi ( insensible, keringat, luka
bakar)
3. Perdarahan
B. Kehilangan
Natrium dan air renal
1. Diuretik
2. Diuresis Osmotik
3. Hipoaldosteronisme
4. Nefropati
C. Kehilangan
air renal
1. Diabetes Insipidus (central atau
nephrogenik)
2.1.2
Volume ekstrasel normal atau meningkat
2.1.2.1
Jenis
A. Cardiac
Output menurun
1. Miokardium, Katup, Perikard
B. Redistribusi
1. Hipoalbuminemia
2. Kebocoran kapiler
C. Peningkatan
kapasitas vena
1. Sepsis
2.1.2.2 Patofisiologi
Manifestasi dari pengurangan volume
ekstrasel berupa penurunan volume plasma dan hipotensi. Hal ini akan merangsang baroresptor sehingga mengaktivasi
system saraf simpatik dan system renin-angiotensin yang akan meningkatkan tekanan
arteri rata-rata (mean arterial pressure), perfusi serebral dan koroner.
Sedangkan respon pada ginjal berupa
penurunan GFR sehingga filtrasi Natrium berkurang dan peningkatan resorbsi Natrium.
Respon ini disebabkan oleh peningkatan aldosteron dan sekresi AVP serta penekanan
sekresi atrial natriuretic peptide.
2.1.2.3 Gambaran Klinis
Anamnesa yang teliti akan membantu menentukan etiologi
(muntah, diare, poliuri, keringat). Sebagian besar merupakan gambaran gangguan
keseimbangan elektrolit dan hipoperfusi jaringan seperti fatigue, lemah, kramp
otot, haus, pusing. hipovolemi yang berat akan memberi gambaran iskemia organ
berupa oliguria, sianosis, nyeri abdomen dan nyeri dada serta gangguan
kesadaran. Turgor kulit dan membran mukosa mulut bukan pertanda yang baik
adanya penurunan cairan interstitial. Tanda penurunan volume intravaskular
meliputi penurunan JVP, hipotensi postural dan takikardia postural sering
ditemukan. Kehilangan cairan yang berat akan menyebabkan shock hipovolemia
dengan tanda berupa hipotensi, takikardi, vasokonstriksi perifer dan
hipoperfusi (sianosis, ekstremitas dingin dan lembab, oliguria) serta perubahan
status mental.
2.1.2.4 Diagnosis
Anamnesa dan pemeriksaan fisik pada umumnya
cukup untuk menentukan etiologi hipovolemia. Data laboratorium digunakan untuk
menunjang diagnosa klinis. Kadar blood urea nitrogen (BUN) dan kreatinin
cendrung meningkat, menandakan turunnya GFR. Ratio BUN dengan kreatinin umumnya lebih dari 20 : 1. Hal ini
terjadi juga pada keadaan hiperalimentasi (tinggi protein), therapi
glukokortikoid dan perdarahan gastrointestinal.
Kadar natrium bisa berkurang, normal atau
berlebih tergantung tonisitas dari cairan yang hilang, adanya rasa haus dan
akses atau tersedianya air. Hipokalemia
sering terjadi oleh karena hilangnya kalium dari ginjal atau gastrointestinal.
Hiperkalemia timbul pada gagal ginjal, insufisiensi
adrenal dan metabolic asidosis. Metabolik alkalosis terjadi pada penggunaan
diuretic dan pada muntah-muntah atau suction nasogastrik. Hematokrit dan
albumin plasma akan meningkat.
Respon akan adanya hipovolemia berupa
peningkatan resorbsi natrium dan air yang akan merubah komposisi urine. Konsentrasi
natrium umumnya kurang dari 20 mmol/L kecuali pada kasus akut tubular nekrosis
(ATN). Hal ini terjadi pula apabila ada muntah yang berlebih dimana kadar Cl-
akan rendah (<20 mmol/L). Osmolalitas urine dan berat jenis umumnya lebih
dari 450 mosmol/kg dan 1.015 menandakan adanya peningkatan sekresi AVP. Namun
pada diabetes insipidus osmolalitas dan berat jenis urine tidak meningkat.
2.1.2.5 Pengobatan
Tujuan terapi adalah memberikan cairan yang
sama dengan cairan yang hilang dan menggantikan cairan yang hilang melalui kehilangan yang sedang
berlangsung. Gejala dan tanda termasuk berat badan dapat digunakan untuk
memperkirakan beratnya hipovolemia. Hipovolemia yang ringan dapat dikoreksi
melalui jalur oral, sedangkan yang berat memerlukan jalur intravena. Cairan isotonik
atau nomal saline digunakan pada keadaan normonatremia atau hiponatremia
ringan. Hipertonik saline digunakan pada hiponatremia berat. Hipernatremia
memerlukan cairan setengah saline atau dextrose 5 %. Transfusi darah atau
cairan koloid diperlukan pada kasus perdarahan. Kalium perlu ditambahkan karena
biasanya disertai hipokalemia.
3. HIPONATREMIA
Hiponatremia terjadi jika asupan air melebihi ekskresinya. Hiponatremia
didefinisikan apabila konsentrasi natrium < 135 mmol/L. Gejala meliputi
konfusion, letargi dan disorientasi, jika berat (< 120 mmol/L) dan
tiba-tiba, kejang atau koma akan timbul. Hiponatremia sering terjadi secara
iatrogenik dan selalu akibat dari kerja ADH yang abnormal. Kadar natrium itu
sendiri tidak mencerminkan kadar total natrium di dalam tubuh, untuk itu pasien
dengan hiponatremia dibagi menjadi 3 grup menurut status volumenya (hipovolemia,
euvolemia/normovolemia dan hipervolemia hiponatremia ).
|
|
|
|
|
|
||||||||||
|
|||||||||||
|
|||||||||||
|
|||||||||||
|
3.1 Hipovolemia Hiponatremi
Hiponatremia derajat ringan
sampai sedang (125-135 mmol/L) dapat terjadi pada kehilangan cairan melalui
gastrointestinal atau perdarahan oleh karena 2 alasan. Pertama, karena adanya
aktivasi system renin-angiotensin-aldosteron axis, system saraf simpatik dan
ADH yang akan meningkatkan resorbsi air dan zat terlarut di ginjal. Kedua, cairan
yang biasanya digunakan di rumah biasanya bersifat hipotonik. Pengobatan yang tepat adalah
mengganti cairan dengan cairan koloid atau kristaloid.
3.2 Hipervolemia Hiponatremia
Keadaan edema (Gagal jantung konngestif, sirosis
hepatis dan nefrotic sindrom) sering menyebabkan hiponatremia ringan sampai
sedang. Patofisiologinya sama seperti yang terjadi pada hipovolemia hanya saja
penurunan perfusi di sini dikarenakan (1) penurunan cardiac output (2)
arteriovenous shunt dan (3) hipoproteinemia berat. Pengobatannya berupa
penanganan penyakit dasarnya, restriksi natrium, diuretic dan restriksi air.
3.3 Euvolemia Hiponatremia
Biasanya terjadi pada SIADH yang sering
timbul pada penyakit di paru-paru (pneumonia, TBC, pleural effusion), penyakit
di otak (tumor, perdarahan subaraknoid, meningitis), keganasan (small cell
carcinoma paru) dan obat-obatan (chlorpropanide, carbamazepine, analgetik
narkotik, siklophosphamid). Pengobatannya adalah restriksi air sampai < 1
L/hari tergantung dari beratnya keadaan.
3.4 Pengobatan
Koreksi natrium tidak boleh terlalu cepat
(0,5 mmol/L per jam). Koreksi yang terlalu cepat akan menyebabkan myelinolisis
pons cereberi terutama apabila hiponatremia telah berlangsung lama. Koreksi
yang cepat hanya diberikan pada hiponatremia yang berat dan disertai adanya
gejala neurologik (Na+ < 105 mmol/L dengan status epileptikus).
4. HIPERNATREMIA
Kondisi ini jarang terjadi bersamaan dengan
hipervolemia dan biasanya akibat
iatrogenik misalnya pemberian cairan natrium bikarbonat. Agaknya keadan ini
disebabkan kehilangan air yang melebihi kehilangan natrium. Penyebab utamanya
adalah diuresis osmotic akibat hiperglikemia, azotemia atau obat (radio
kontrast, manitol, dll) atau diabetes insipidus sentral atau nefrogenik.
Koreksi cairan diberikan perlahan-lahan
agar tidak terjadi gejala neurologik. Penderita sentral diabetes insipidus
dapat diberikan desmopresin atau chlorpropamide. Penderita nefrogenik diabetes
insipidus akibat lithium dapat diberikan amiloride atau hidroklorothiazide, NSAIDs
dapat pula digunakan namun karena efek nefrotoksiknya jarang digunakan.
Koreksi Hipernatremia
Water
Defisit
1.
Total body water (TBW) : 50-60% BB (kg)
2. Free water
deficit : ( Na – 140/140 ) x
TBW
3. Berikan dalam
48-72 jam
Ongoing
Water Losses
4.Hitung
free water klirens dari urinary flow rate(V) dan urine (U) Na dan K
konsentrasi V- Vx(Una+Uk)/140
Insensible
Losses
5.~
10ml/kg/hari
IKHTISAR GANGGUAN METABOLISME NATRIUM DAN AIR
I.
KEHILANGAN NATRIUM DAN AIR (Kehilangan volume)
A. Kehilangan Ekstrarenal
1.
Gastrointestinal (Muntah, diare, fistula)
2. Sekuestrasi abdominal
3. Kulit
(Keringat, Luka bakar)
B. Kehilangan Renal
1. Penyakit ginjal ( Fase diuresis ARF, Diuresis
pasca obstruksi, CKD)
2. Overdosis diuretika
3. Diuresis osmotik
4.
Defisiensi mineralokortikoid (Penyakit Addison,
Hipoaldosteronisme)
II.
HIPONATREMIA
A. Dengan kehilangan volume ekstraseluler
B. Dengan kelebihan volume ekstraseluler dan
edema
C. Dengan volume
ekstraseluler normal atau meningkat sedang
1. ARF dan CKD
2. Gangguan
diuresis sementara (emosi, nyeri)
3. SIADH
4. Endokrin
(Defisiensi glukokortikoid, hipotiroidisme)
5. Polidipsia
berat
6. Esensial
(sindroma sel sabit)
D. Tanpa Hipoosmolalitas plasma
1.
Osmotik (hiperglikemia, manitol)
2.
Artefak (hiperlipidemia,
hiperproteinemia)
III. HIPERNATREMIA
A. Terutama karaena
kehilangan air
1. Ekstrarenal
a. Kulit
b. Paru
2. Renal
Diabetes insipidus
3.
Gangguan fungsi hipotalamus
B. Akibat kehilangan air yang disertai
kehilangan natrium
1.
Ekstrarenal
Keringat
2.
Renal
Diuresis
osmotik (Glikosuria, urea)
C. Akibat memperoleh natrium
1. Pemberian natrium berlebihan
2. Hiperfungsi adrenal (hiperaldosteronisme,
sindroma Cushing)
5.
HIPOKALEMIA
Atrial dan ventricular aritmia sering
timbul terutama apabila disertai dengan hipomagnesium dan penggunaan digoxin. Manifestasi
klinis lainnya berupa kelemahan otot, ileus dan poliuria. Riwayat penyakit dan
konsentrasi Kalium di dalam urine dapat membantu menentukan penyebab
hipokalemia.
Penanganan hipokalemia berupa koreksi
penyakit dasarnya, hentikan obat yang menyebabkan hipokalemia dan suplementasi
kalium. Kalium dapat diberikan oral maupun intravena dengan kecepatan tidak
melebihi 20 mmol/jam.
6. HIPERKALEMIA
Pada kebanyakan kasus hiperkalemia
diakibatkan oleh ekskresi kalium yang menurun. Apabila diagnosis belum pasti, hitung
gradien Kalium transtubular (TTKG) dapat membantu. TTKG = UkPosm/PkUosm. TTKG < 10 menandakan ekskresi Kalium menurun
oleh karena (1) hipoaldosteronism dan (2) resistensi renal terhadap efek
mineralokortikoid.
Konsekuensi penting adalah terjadinya
gangguan konduksi jantung yang dapat menyebabkan cardiac arrest. Hipocalcemia
dan asidosis akan memperberat keadaan ini.
Pustaka
1.
Harrison ’s Principles of Internal Medicine 16th
Edition, page 252 – 263.
2.
Harrison ’s Manual of Medicine 16th Edition, page 5 – 8
3. Buku Saku Klinis, Editor Marc S
Sabatine, Halaman 120 -126
1/24/2006 11:31:38 PM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar