Entah lagi pengen menghabiskan waktu duduk di pembatas
antara trotoar dan jalan, menikmati lalu lalang kendaraan mobil, motor,
bus kota, metro mini, bus trans Jakarta yang masih saja mengepulkan
kotoran asap hitamnya. Parade kendaraan itu sudah mulai memadati kota
terpadat ini semenjak ditinggalkan mudik para penduduk atau para pencari
sebutir beras di kota yang katanya menjanjikan. Iya memang menjanjikan kemaslahatan dan kemelaratan hidup bisa jadi.
Memperhatikan manusia-manusia di sekeliling tempat duduk saya. Ada
yang berjualan otak-otak yang dibungkus daun pisang, diasapi biar tetap
hangat untuk dicicipi. Ada yang berjualan minuman dingin dan panas
dengan tesmos yang juga selalu menemani. Pun anak jalanan dengan
asyiknya bersenda gurau dengan teman sepermainannya.
Walaupun bau pesing yang senantiasa
mengharumi jalanan kota ini dan ada di sekeliling tempat duduk saya ini
dengan aroma yang menyeruak tajam, tertutupi oleh deru dan debu
kendaraan malam.
Silih berganti orang datang, mengejar bus, turun dari bus, mengejar
sambil berlarian tak ingin ketinggalan jadwal kereta semenitpun.
Demikian juga para penumpang bus transJ. Gerontang-geronting
menghentakkan langkah kakinya di jembatan penyeberangan menimbulkan
suara prak prok prak prok antara sol sepatu dan plat jembatan. Yah
mereka berganti, berganti Orang, berganti laku.
Menyaksikan anak-anak yang hidup di
jalanan ini berbaju lusuh dengan jari kaki yang sudah hitam legam
karena debu dan asap pekat kendaraan menutup kuku kakinya, tanpa
beralaskan kaki, terus saja berlari, bermain, berguling bahkan dalam
tumpukan sampah dan kadang ikut berteriak berusaha memecahkan ributnya
kota ini. Bukan hanya kaki, kulit kuning langsatnya pun itu melegam,
tertutupi tebal bedak asap knalpot kendaraan bermotor.
Anak kecil itu belum cukup belasan tahun sudah mengisap nikmat
rokok dalam-dalam seakan-akan di sebelahnya tak terganggu asapnya itu.
Oh adik, sudah sebegitu rupa dunia ini sampai dengan umurmu yang masih
belum AbGpun sudah mengenal rokok dan kerasnya hidup.
Suara batuk bapak tua yang mendorong gerobak sampahnya, suara
batuknya berdahak gahar dalam kerongkongannya yang tidak juga bisa
dikatakan batuk biasa. Menjadi kebiasaan bapak tua setiap menitnya itu
sambil memungut sampah satu persatu, sampah mana saja yang bisa
diuangkan lagi.
Hari ini saya cuman bisa melihat dan bercerita kegalauan jalan, semoga suatu saat tidak sekedar itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar