Pendahuluan
Genus
Salmonella terdiri dari sekitar 2300 serotipe yang memiliki daya adaptasi yang
amat tinggi pada hospes manusia dan berbagai jenis hewan serta dapat
menyebabkan berbagai macam penyakit. Sebagian dari serotipe tersebut yaitu
S.typhii dan S.paratyphii dapat menyebabkan demam enterik dan hanya dapat hidup
pada manusia. Serotipe yang lain, biasa disebut Salmonella nontifoid, memiliki
prevalensi pada traktus gastrointestinal berbagai macam hewan, termasuk
diantaranya mamalia, reptil, unggas dan serangga. Sekitar 200 dari serotipe
tersebut dapat bersifat patogen pada manusia, umumnya menyebabkan
gastroenteritis, infeksi lokal dan atau bakteriemia.
Definisi
Demam tifoid merupakan penyakit
sistemik yang memiliki karakteristik berupa demam dan nyeri abdomen yang
diakibatkan oleh diseminasi S.typhii atau S.paratyphii. Penyakit ini pada
awalnya disebut sebagai demam tifoid karena memiliki kemiripan klinis dengan
penyakit tifus. Walaupun demikian pada awal abad ke-19 demam tifoid dengan
jelas didefinisikan secara patologis sebagai suatu penyakit unik berdasarkan
asosiasinya dengan pembesaran plak Peyer dan nodus limfatikus mesenterika. Pada
tahun 1869, istilah demam enteric diajukan dan sebagai desain alternatif untuk
membedakan demam tifoid dengan tifus. Walaupun demikian, sampai saat ini kedua
istilah tersebut masih dipergunakan secara bergantian.
Epidemiologi
Berlawanan
dengan serotipe Salmonella lainnya, S.typhii dan S.paratyphii tidak memiliki
hospes lain selain manusia. Oleh karena itu, demam enteric hanya ditransmisikan
melalui kontak erat dengan individu yang terinfeksi secara akut atau karier
kronik. Walaupun transmisi langsung antar manusia melalui rute fekal-oral telah
didokumentasikan, angka kejadiannya sebenarnya cukup rendah. Kebanyakan kasus
umumnya diakibatkan dari mengkonsumsi air atau makanan yang terkontaminasi.
Paramedis biasanya terserang penyakit ini setelah mengalami pajanan terhadap
pasien yang terinfeksi, sementara petugas laboratorium dapat terserang penyakit
ini apabila mengalami kecelakaan dalam penanganan spesimen.
Lebih dari empat dekade yang lalu,
jumlah kasus demam enteric di negara maju telah mengalami penurunan berkat
peningkatan kualitas penanganan makanan dan penanganan air limbah. Dalam
sekitar 10 tahun belakangan, tercatat hanya sekitar 400 kasus demam tifoid dan
sedikit kasus demam paratifoid dilaporkan tiap tahunnya di AS. Sebaliknya,
demam enteric terus menjadi masalah kesehatan global dengan angka kejadian
sekitar 13-17 juta kasus tiap tahunnya di dunia dengan angka kematian sekitar
600.000 per tahun. Anak-anak usia <1 tahun nampaknya paling rentan terhadap
infeksi awal dan perkembangan penyakit ke arah yang lebih buruk.
Demam enteric bersifat endemic di
kebanyakan daerah berkembang, terutama di India ,
Amerika Tengah dan Utara serta Asia . Hal ini
berhubungan dengan pertumbuhan penduduk yang cepat, peningkatan urbanisasi,
penanganan limbah yang inadekuat, persediaan air bersih yang terbatas serta system
pemeliharaan kesehatan yang terbatas. Kondisi-kondisi inilah yang dinilai
bertanggung jawab pada epidemi demam tifoid di Eropa Selatan baru-baru ini.
Resistensi terhadap antibiotik pada Salmonella juga merupakan suatu
permasalahan tersendiri dan saat ini dihubungkan dengan penggunaan antibiotik
pada hewan ternak. Banyak strain dari S.typhii mengandung plasmid yang mengkode
faktor resistensi terhadap kloramfenikol, ampisilin, dan trimetoprim -
antibiotik yang sejak lama dipergunakan untuk mengatasi demam enteric. Sebagai
tambahan, resistensi terhadap siprofloksasin, baik yang dikode oleh kromosom
ataupun plasmid, telah diobservasi di Asia .
Tingkat morbiditas dan mortalitas meningkat pada kejadian luar biasa yang
diasosiasikan dengan strain yang resisten terhadap antibiotik, kemungkinan
diakibatkan oleh penanganan yang tidak adekuat atau terlambat.
Di
Indonesia demam tifoid masih merupakan penyakit endemik. Surveilans Departemen
Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid di Indonesia pada tahun 1990 sebesar
9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4 per 10.000
penduduk. Dari survei berbagai rumah
sakit di Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan
peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8% yaitu dari 19.596 menjadi 26.606
kasus. Insidens demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait
dengan sanitasi lingkungan; di daerah rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000
penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk.
Perbedaan insidens di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih
yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang
kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan. Case Fatality Rate (CFR) demam
tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari seluruh kematian di Indonesia . Sehingga tidak termasuk
dalam 10 penyakit dengan mortalitas tertinggi.
Etiologi
Salmonella
merupakan suatu genus besar dari bakteri batang Gram-negatif dalam famili
Enterobactericeae. Nomenklatur dan klasifikasi dari genus bakteri ini telah
mengalami banyak revisi, terutama pada tahun 1983 dimana lebih dari 2000
serotipe dikelompokkan dalam satu spesies S.cholerasuis berdasarkan kesamaan
dari DNA bakteri-bakteri tersebut. Spesies ini kemudian dibagi lagi menjadi 7
subgrup berdasarkan spesifitas hospes dan kemiripan DNA. Hampir semua strain
yang patogen terhadap manusia berada dalam subgrup 1 (enterica atau
cholerasuis), terkecuali beberapa strain yang bersifat patogen namun jarang
menginfeksi manusia (subgrup 3a dan 3b). Nomenklatur untuk spesies ini cukup
kompleks. Sebagai contoh, penamaan yang tepat untuk organisme yang dapat
menyebabkan demam tifoid adalah Salmonella cholerasuis ssp cholerasuis (atau
subgrup 1), serovar typhii. Karena dianggap menyulitkan, dibuatlah suatu sistem
yang disederhanakan dan dipergunakan secara luas, dimana dipergunakan nama
spesies sebelum mengalami reklasifikasi. Dengan sistem ini maka bakteri yang
telah disebutkan diatas umum disebut hanya dengan sebutan Salmonella typhii.
Identifikasi awal dari mikroorganisme ini pada
laboratorium klinis didasarkan pada karakteristik pertumbuhan. Seperti
Enterobactericeae lain, Salmonella memproduksi asam pada fermentasi glukosa,
mereduksi nitrat dan tidak mereduksi sitokrom oksidase. Mikroorganisme ini tidak
membentuk spora dan bersifat anaerob fakultatif. Salmonella dapat bergerak
dengan menggunakan flagel peritrik (kecuali S.gallinarum-pullorum) dan
memproduksi H2S pada fermentasi gula (kecuali S.typhii). Sekitar 99% isolat
klinis tidak memfermentasi laktosa.
Salmonella dapat juga
diklasifikasikan lebih lanjut ke dalam serovarian berdasarkan keberadaan tiga
determinan antigen mayor : antigen somatik O (komponen dinding sel
lipopolisakarida), antigen permukaan Vi (hanya pada S.typhii dan paratyphii C)
dan antigen flagel H. Secara umum, laboratorium klinis membagi Salmonella ke
dalam 6 serogrup (A, B, C1, C2, D dan E) berdasarkan aktivitasnya terhadap
antiserum untuk antigen somatik O. Pengelompokan ini hanya memberikan informasi
klinis yang terbatas dikarenakan terdapatnya reaksi silang. Oleh karena itu,
penentuan serotipe Salmonella memerlukan pengujian biokimiawi dan serologis
lebih lanjut. Untuk evaluasi epidemiologis, strain dengan serovarian yang
spesifik dapat ditentukan melalui bacteriophage
typing, plasmid profile determination
dan restricted length polimorphism
analysis.
Beberapa kemajuan terakhir dalam mendeteksi Salmonella typhii:
· IDL Tubex®
yang dipasarkan oleh sebuah perusahaan Swedia, dilaporkan dapat mendeteksi IgM
O9 pasien dalam waktu beberapa menit.
· Typhidot®
yang memerlukan waktu tiga jam, dikembangkan di Malaysia untuk mendeteksi
spesifik antibodi IgM dan IgG pada 50kD antigen S. typhi.
· Typhidot-M®
yang terakhir dikembangkan hanya untuk mendeteksi spesifik IgM saja.
· Dipstick
test yang dikembangkan di Belanda didasarkan pada penemuan spesifik antibodi IgM yang menempel pada antigen
lipopolysakarida S. typhii dan
pewarnaan ikatan antibodi tersebut dengan anti-human IgM antibodi yang
terkonjugasikan dengan partikel perwarna koloid.
Patogenesis
Masuknya
kuman Salmonella typhi (S,typhi) dan Salmonella
paratyphi(S. paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang
terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos
masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons immunitas humoral mukosa (IgA) usus
kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan
selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan
difagosit oleh sel-sel fagosit terutama
oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya di bawa ke plaque Payeri ileum distal dan kemudian
ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus
kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah
(mengakibatkan bakteremia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh
organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini
kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi
mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan
gejala penyakit infeksi sistemik.
Di
dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara “intermittent” ke dalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam
sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung
makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa
mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi
sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut,
instabilitas vaskuler, gangguan mental, dan koagulasi.
Di
dalam plaque Peyeri makrofag
hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksikan reaksi hipersensitif tipe
lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna
dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plaque Payeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat
akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan
limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat
mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel
kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik,
kardiovaskular, pernafasan, dan gangguan organ lainnya.
Manifestasi Klinis
Infeksi S. typhi diperoleh melalui tertelannya makanan atau air yang
terkontaminasi oleh feses yang mengandung kuman S. typhi. Dosis kuman yang dapat menimbulkan demam tifoid adalah 105
kuman S. typhi patogenik.
Periode inkubasi pada pasien tergantung pada kuantitas dari inokulum yang tertelan
dan daya tahan tubuh pasien. Periode inkubasi biasanya berlangsung dalam 8-14
hari, dan berkisar antara 3-60 hari. Gejala dapat timbul setelah terjadi
bakteriemia sekunder, dimana terdapat 1-10 bakteri/ml darah.
Manifestasi
klinis dari demam tifoid bervariasi mulai dari sakit ringan dengan demam,
malaise, dan batuk kering, hingga sakit berat yang disertai rasa tidak enak
pada perut sampai disertai dengan penyulit multipel. Beberapa faktor
mempengaruhi derajat dan gambaran klinis penyakit yang timbul, yaitu durasi
penyakit selama belum diberikan pengobatan yang tepat, pemilihan antibiotik
yang sesuai, usia, kuantitas inokulum yang tertelan, dan faktor daya tahan
tubuh dari pasien.
Demam
tifoid akut ditandai dengan adanya demam terus menerus (sifat demam adalah
meningkat perlahan-lahan dan suhu badan terutama lebih tinggi pada sore hingga
malam hari), gangguan fungsi pencernaan (konstipasi terutama pada pasien
dewasa, diare terutama pada anak), sakit kepala, malaise dan anoreksia. Batuk
(bronchitic cough) sering ditemukan pada awal sakit.
Pada
pemeriksaan fisik didapatkan suhu badan meningkat. Pada minggu kedua
gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relatif
(bradikardia relatif adalah peningkatan suhu 1o C yang tidak diikuti
peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di
tengah, sedangkan tepi dan ujung lidah hiperemis, serta tremor), hepatomegali,
splenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma,
delirium, atau psikosis.
Selama periode demam, sampai dengan 25%
pasien menunjukkan eksantema (rose spots)
pada dada, perut dan punggung. Rose spots
merupakan suatu ruam makulopapular berwarna pucat seperti salmon yang biasanya
terletak pada dada dan batang tubuh, ruam ini terdapat pada sekitar 30% pasien
pada akhir minggu pertama perjalanan penyakit dan menghilang dalam 2-5 hari
tanpa meninggalkan bekas. Rose spot jarang ditemukan pada orang Indonesia.
Demam
tifoid akut dapat menjadi berat dan menimbulkan penyulit yang serius yang dapat
ditemukan pada minggu ketiga dan keempat perjalanan penyakit, penyulit yang
terjadi umumnya berupa perforasi usus dan atau perdarahan gastrointestinal.
Komplikasi ini dapat muncul walaupun terdapat perbaikan secara klinis, hal ini
diperkirakan terjadi karena terdapat nekrosis pada tempat awal infiltrasi
Salmonella pada usus halus. Tanda dan gejala dari perforasi intestinal dan
peritonitis yang terjadi seperti peningkatan frekuensi denyut nadi yang
tiba-tiba, hipotensi, nyeri abdomen, nyeri tekan abdomen, muscle guarding, dan kekakuan otot perut. Pada keadaan ini
didapatkan peningkatan jumlah sel darah putih (shift to the left) dan gambaran
udara bebas pada radiografi abdomen.
Komplikasi yang disebutkan di atas
bersifat mengancam kehidupan dan membutuhkan intervensi segera baik secara
medis maupun bedah, ditambah dengan antibiotik spectrum luas untuk mengatasi
dan mencegah peritonitis polimikrobial serta penanganan perdarahan
gastrointestinal, termasuk diantaranya reseksi usus.
Komplikasi
yang jarang terjadi, diantaranya adalah pankreatitis, abses hepatik dan splenik,
endokarditis, perikarditis, orkitis, hepatitis, meningitis, nefritis,
myocarditis, pneumonia, artritis, osteomielitis dan parotitis.
Walaupun telah mendapatkan terapi
antibiotik yang sesuai, pada sekitar 10% individu imunokompeten dapat terjadi
relaps.
Pemeriksaan Penunjang
Pada 15-25% kasus, dapat ditemukan leukopenia
dan neutropenia. Pada sebagian besar kasus, leukosit tetap normal. Leukositosis
dapat terjadi selama 10 hari pertama sakit, atau bila terjadi penyulit berupa
perforasi intestinal atau oleh karena infeksi sekunder. Selain itu dapat pula
ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis
leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah pada
demam tifoid dapat meningkat. SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan
kembali menjadi normal setelah sembuh.
Diagnosis definitif dari demam tifoid
tergantung dari isolasi S.typhi dari darah, sumsum tulang atau lesi anatomik
spesifik. Adanya gejala klinis yang khas dari demam tifoid ataupun deteksi dari
respon antibodi spesifik adalah bersifat sugestif untuk demam tifoid, bukan
definitif.
Kultur positif dari kuman S.typhi atau S.
Paratyphi merupakan ”gold standard” diagnostik pada demam tifoid. Temuan kuman
pada kultur darah paling banyak (90%) didapatkan pada minggu pertama infeksi,
dan menurun sampai 50% pada minggu ketiga.
Diagnosis juga dapat ditegakkan
berdasarkan kultur positif dari feses, urin, rose spots, sumsum tulang, dan cairan lambung atau usus. Tidak seperti
kultur darah, kultur sumsum tulang dapat tetap sensitif (90%) walaupun telah
diberi antibiotik selama 5 hari. Kultur feses dapat negatif (pada 60-70% kasus)
selama minggu pertama sakit, dan dapat menjadi positif pada minggu ketiga pada
pasien yang tidak diobati. Pada pasien karier kronik, kultur tinja dapat tetap
positif sampai lebih dari 8 minggu hingga 1 tahun. Hasil biakan darah yang
positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan
demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa hal sebagai berikut:
-
telah
mendapat terapi antibiotik
-
volume
darah yang kurang
-
riwayat
vaksinasi
-
saat
pengambilan darah setelah minggu pertama
Uji Widal mamiliki tingkat positif palsu
dan negatif palsu yang tinggi, sehingga secara klinis tidak terlalu bermanfaat.
Uji Widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S. typhi. Dari ketiga aglutinin O, H dan Vi pada serum darah
penderita, hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi hasil dari uji Widal yaitu:
-
pengobatan
dini dengan antibiotik
-
gangguan
pembentukan antibodi, dan pemberian kortikosteroid
-
waktu
pengambilan darah
-
daerah:
endemik atau non endemik
-
riwayat
vaksinasi
-
reaksi
anamnestik
-
faktor
teknik pemeriksaan anatr laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan strain
Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen
Definisi Kasus Demam Tifoid
Confirmed Case
Pasien dengan demam (suhu 38o
C atau lebih) yang telah berlangsung sedikitnya selama 3 hari, dengan hasil
laboratorium kultur positif S.typhi (confirmed)
dari darah, sumsum tulang, cairan gaster/usus.
Probable Case
Pasien
dengan demam (38o C atau lebih) yang telah berlangsung sedikitnya
selama 3 hari, dengan serodiagnosis atau tes deteksi antigen positif, tetapi
tanpa dilakukan isolasi kuman S.typhi.
Karier Kronik
Ekskresi
S. typhi pada tinja atau urin (atau
kultur empedu atau duodenal ulangan yang positif) yang lebih dari 1 tahun sejak
onset dari demam tifoid akut. Karier jangka pendek juga ada, tetapi peranannya
kurang begitu penting dibandingkan karier kronik. Beberapa pasien yang
mengekskresikan S.typhi bisa tidak memiliki riwayat demam tifoid sebelumnya.
Penatalaksanaan
Perawatan
Pasien demam tifoid perlu dirawat di rumah
sakit untuk isolasi, observasi, dan pengobatan. Pasien harus tirah baring
absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari.
Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi perforasi atau
perdarahan usus. Mobilisasi pasien dilakukan secara bertahap sesuai dengan
pulihnya kekuatan pasien.
Diet
Diet tinggi kalori dan protein sangat
diperlukan dalam diet demam tifoid untuk mengganti kehilangan kalori dan
kerusakan protein jaringan. Pemberian makanan padat pada penderita demam tifoid
pada kenyataannya tidak memberikan efek penyulit yang berarti. Tetapi harus tetap diingat bahwa
memberikan ketenangan pada usus yang menderita sakit sangat diperlukan.
Pemberian makanan yang berlebihan serta banyak mengandung serat yang sukar
dicerna tidak dianjurkan.
Dalam tata laksana diet penderita demam
tifoid, pemberian makanan tergantung dari keadaan penderita, ada yang lebih
menyukai pemberian dini makanan padat dan ada yang tidak.
Obat
·
Antibiotika
1.
Kloramfenikol
Kloramfenikol
merupakan antibiotika berspektrum luas, efektif terhadap bakteri Gram positif
dan negatif, meskipun penggunaannya terbatas karena toksik. Kloramfenikol
bekerja dengan menghambat sintesa protein bakteri.
Kloramfenikol
dapat diberikan secara peroral (berupa kapsul atau suspensi/sirup) dan
intravena. Lama terapi 8-10 hari setelah suhu tubuh kembali normal; untuk
mencegah terjadinya kekambuhan lama terapi dapat diberikan selama 14 hari
penuh.
Kloramfenikol didistribusi secara
luas ke jaringan dan cairan tubuh. Kloramfenikol dapat masuk ke cairan
serebrospinal dengan kadar 50% dari yang beredar dalam darah. Obat ini juga
dapat menembus plasenta ke sirkulasi darah janin, ASI, dan cairan mata.
Kloramfenikol berikatan dengan protein plasma di sirkulasi ±60%. Waktu paruh
kloramfenikol berkisar 1,5 - 4 jam dan dapat lebih lama pada penderita dengan
penyakit hati atau bayi. Metabolisme kloramfenikol terjadi di hati. Ekskresi
kloramfenikol terutama melalui air kemih, sebagian kecil lagi diekskresi
melalui tinja.
Untuk
mencegah terjadinya efek samping yang tidak diharapkan maka perlu dilakukan
pemantauan kadar kloramfenikol dalam plasma selama penggunaan obat ini. Pada
penderita gangguan fungsi hati, dosis obat ini diturunkan.
2. Ampisilin
dan amoksisilin
Ampisilin
dan amoksisilin merupakan antibiotic yang berspektrum luas dan termasuk
golongan antibiotic penisilin (betalaktam). Antibiotic ini mempunyai mekanisme
merusak dinding sel bakteri dengan menghambat sintesa peptidoglikan yang
terdapat pada dinding sel.
Amoksisilin
digunakan sebagai alternative pengobatan bila ditemukan resistensi terhadap
kloramfenikol. Ampisilin dan amoksisilin merupakan obat yang kurang mempunyai
toksisitas langsung, kebanyakan efek samping berat disebabkan oleh reaksi
hipersensitivitas. Reaksi alergi dapat berupa syok anafilaksis, urtikaria,
panas, pembengkakan sendi, pruritus hebat, dan gangguan pernapasan, serta
berbagai ruam kulit lainnya. Reaksi toksisitas dapat ditimbulkan oleh iritasi
langsung karena suntikan i.m. atau i.v. dalam konsentrasi sangat tinggi berupa
nyeri setempat, indurasi, tromboflebitis, atau degenerasi saraf yang disuntik
secara tidak sengaja. Pemberian dosis besar per oral dapat mengakibatkan
gangguan saluran cerna terutama mual, muntah dan diare.
3. Trimetoprim
dan sulfametoksazol
Trimetoprim
dan sulfametoksazol adalah kombinasi antibiotic trimetoprim dan
sulfametoksazol. Trimetoprim dan sulfametoksazol masing-masing mempunyai sifat
sebagai bakteriostatik, tetapi apabila dikombinasi akan bersifat bakterisida.
Trimetoprim dan sulfametoksazol terutama digunakan pada penderita yang alergi
atau ada dugaan kuat kuman S. typhi
resisten terhadap kloramfenikol dan ampisilin-amoksisilin. Respon penggunaan
obat trimetoprim dan sulfametoksazol tidak sebaik respon terhadap ampisilin dan
kloramfenikol, tetapi tetap dapat menghasilkan perbaikan klinis.
Pengobatan kurang dari 14 hari akan
memberi resiko relaps. Trimetoprim-sulfametoksazol dapat memberikan efek
samping berupa efek obat anti folat, terutama anemia megaloblastik, leucopenia,
dan granulositopenia. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian asam folinat
secara bersamaan 6-8 mg/hari.
4. Golongan
sefalosporin
Multi drug resistant Salmonella typhi
(MDRST) adalah istilah yang diberikan pada kuman S. typhi yang resisten terhadap 3 antibiotik oral pilihan pertama,
yaitu kloramfenikol, ampisilin/amoksisilin, dan trimetoprim-sulfametoksazol.
Oleh karena itu, baru-baru ini generasi ke-3 sefalosporin telah dipertimbangkan
sebagai obat utama pada MDRST.
Sefalosporin
merupakan antibiotic yang menyerupai penisilin, tetapi resisten terhadap
betalaktamase serta aktif terhadap bakteri Gram positif maupun Gram negative.
Mekanisme kerja sefalosporin analog penisilin yaitu menghambat sintesis
peptidoglikan pada dinding sel bakteri. Seftriakson, sefotaksim, sefiksim, dan
sefoperason adalah yang sering digunakan sebagai alternative pengobatan pada
MDRST.
Pada
gagal ginjal, dosis harus diturunkan karena ekskresi sefalosporin akan
terganggu serta kadar sefalosporin yang tinggi dalam jaringan dan cairan tubuh
dapat menimbulkan efek toksik.
·
Obat simtomatik dan suportif
1.
Antipiretik
Antipiretik hanya diberikan bila panas lebih dari 38,5oC
atau terdapat kejang demam (atau riwayat kejang demam).
2.
Kortikosteroid
Pasien yang toksik dapat diberikan kortikosteroid oral atau
parenteral dalam dosis yang menurun secara bertahap selam 5 hari. Pemberian
cepat deksametason dengan menggunakan 3 mg/kgBB untuk dosis awal, diikuti 1
mg/kgBB setiap 6 jam selama 48 jam, hasilnya biasanya memuaskan, kesadaran
pasien tidak terganggu dan suhu badan cepat turun menjadi normal. Akan tetapi kortikosteroid tidak boleh
diberikan tanpa indikasi karena dapt menyebabkan perdarahan intestinal dan
relaps.
3.
Transfusi darah dan pembedahan
Pada perdarahan
usus berat, transfuse darah diperlukan. Intervensi pembedahan dengan
antibiotika spectrum luas dianjurkan pada perforasi usus. Transfusi trombosit
telah disarankan untuk pengobatan trombositopeni yang cukup berat yang
menyebabkan perdarahan usus pada penderita yang akan dilakukan pembedahan.
Komplikasi
1. Komplikasi Intestinal
-
Perdarahan usus (bila gawat harus dilakukan pembedahan)
-
Perforasi usus (harus dilakukan pembedahan)
-
Ileus paralitik
2. Komplikasi Ekstra-Intestinal
1. Darah : Anemia hemolitik,
trombositopenia, DIC, Sindroma
uremia hemolitik
2. Kadiovaskular : Syok
septik, miokarditis, trombosis, tromboflebitis
3. Paru-paru : Empiema,
pneumonia, pleuritis, bronkhitis
4. Hati dan kandung
empedu : Hepatitis, kholesistitis
5. Ginjal :
Glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis
6. Tulang : Osteomielitis,
periostitis, spondilitis, arthritis
7. Neuropsikiatrik :
Delirium, meningismus, meningitis, polineuritis perifer, encephalopaty, Sindrome
Guillian – Barre,
psikosis, gangguan koordinasi, sindroma katatonia.
Komplikasi
pada tifoid dapat dikelompokkan dalam komplikasi yang langsung akibat gangguan
pada sistem retikuloendotelial dan komplikasi tak langsung karena adanya
bakteremia.
Komplikasi
yang langsung berupa perdarahan dan perforasi tukak di ileum, kolesistitis akut
dan kronik, hepatitis tifosa, osteomielitis dan perdarahan pada otot yang rusak
karena toksin kuman tifoid. Kerusakan otot dapat menyebabkan abses terutama di
otot paha dan otot perut. Peradangan di jaringan limfe usus halus sering
menyebabkan ileus paralitik. Osteomielitis biasanya menyerang tibia, sternum,
iga dan tulang belakang.
Sekitar
1-5% pasien demam tifoid akan karier yang kronis dan asimptomatik. Pada
orang-orang ini, S. typhi dapat keluar baik melalui urin ataupun tinja
selama lebih dari 1 tahun. Kejadian karier kronis lebih tinggi pada wanita dan
pada orang-orang dengan kelainan bilier (seperti batu empedu, karsinoma kandung
empedu) dan keganasan gastrointestinal.
Komplikasi
lanjut, yang terjadi pada minggu ke-3 dan ke-4, paling sering terjadi pada
orang dewasa yang tidak diobati. Komplikasi ini dapat berupa perforasi
intestinal dan/atau perdarahan gastrointestinal. Kedua komplikasi tersebut
dapat mengancam keselamatan jiwa penderita dan membutuhkan intervensi medis dan
bedah secepatnya.
Perdarahan
tukak tifus ditemukan pada kira-kira 5 % penderita, sedangkan perforasi pada 3%
dengan mortalitas tinggi. Komplikasi ini biasanya terjadi pada minggu kedua
atau ketiga. Beberapa keadaan ternyata disertai dengan resiko tinggi terjadinya
perdarahan dan perforasi, yaitu kadar albumin serum yang rendah (< 2,5 gr%)
yang menunjukkan gizi kurang, kadar obat yang tidak memadai, banyak gerak, dan
keadaan penyakit berat, misalnya demam lebih dari tiga minggu. Pada keadaan
toksik kesadaran menurun dan bradikardia relatif yang berubah menjadi takikardia
merupakan tanda buruk yang mengarah ke syok toksik disertai miokarditis.
Untuk
mengurangi kemungkinan komplikasi perdarahan dan/atau perforasi usus, penderita
dianjurkan mendapatkan diet cukup dan lunak sampai demam hilang sama sekali.
Penderita pun harus membatasi geraknya. Obat antitifoid perlu diberikan secara
tepat dengan dosis yang memadai dan diminum secara teratur.
Penyulit tak
langsung berupa infeksi fokal yang dapat terjadi pada setiap organ. Infeksi
fokal ini antara lain berupa tromboflebitis di v.femoralis, v.safena maupun
sinus otak, juga berupa nefritis, orkitis, parotitis dan bronkitis yang mudah
berlanjut menjadi pneumonia yang mungkin disusul empiem. Meningitis biasanya
merupakan lanjutan tromboflebitis di sinus otak.
Penyulit lain dari demam
tifoid adalah terjadinya relaps. Umumnya relaps ditandai dengan timbulnya
kembali keluhan serta gejala dari demam tifoid disertai bakteriemia dan
kelainan patologik di traktus intestinal. Suhu meninggi kembali dan mencapai
puncak lebih cepat yaitu pada hari ke-2 atau ke-3. Relaps biasanya terjadi pada
hari ke 7-10 setelah afebril, ada juga yang terjadi 3 minggu setelah afebril
dan ada pula yang relaps setelah 3 bulan obat kloramfenikol dihentikan. Limpa
yang tetap teraba adalah gejala penting dari kecenderungan terjadinya relaps.
Perjalanan relaps pada umumnya lebih ringan tapi kadangkala dapat menjadi
fatal.
Komplikasi
lain seperti pankreatitis, abses hepatik dan lien, endokarditis, perikarditis, orchitis,
hepatitis typhosa, meningitis, nefritis, miokarditis, pneumonia, arthritis,
osteomielitis, dan parotitis, jarang terjadi dan terjadi dan insidensinya dapat
dikurangi dengan pengobatan antibiotik yang tepat
Pencegahan
Secara
umum untuk memperkecil kemungkinan tercemar Salmonella
typhi, maka setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan
minuman yang mereka konsumsi. Salmonella
typhi didalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 57ºC beberapa menit
atau dengan proses iodinisasi/klorinisasi.
Untuk
makanan, pemanasan sampai suhu 57ºC beberapa menit dan secara merata juga dapat
mematikan kuman Salmonella typhi.
Penurunan endemisitas suatu negara atau daerah bergantung pada baik buruknya
pengadaan sarana air dan pengaturan pembuangan sampah serta tingkat kesadaran
individu terhadap higiene pribadi. Imunisasi aktif dapat membantu menekan angka
kejadian demam tifoid.
Vaksin Demam Tifoid
Saat sekarang dikenal tiga
macam vaksin untuk penyakit demam tifoid yaitu yang berisi kuman yang
dimatikan, kuman hidup dan komponen Vi dari Salmonella
Typhi.
Vaksin demam
tifoid oral
- Vaksin ini dibuat dari kuman Salmonella typhi jalur non patogen
yang telah dilemahkan. Kuman dalam vaksin ini hanya mengalami sedikit
siklus pembelahan dalam usus dan dieliminasi dalam waktu 3 hari setelah
pemakaiannya. Tidak seperti vaksin parenteral, respon imun pada vaksin ini
termasuk sekretorik IgA. Secara umum efektivitasnya sama dengan vaksin
parenteral yang diinaktivasi dengan pemanasan, tetapi vaksin oral ini
reaksi sampingnya lebih rendah. Vaksin ini dalam perdagangan dikenal
sebagai Ty-21a.
- Cara pemberian tiap hari ke 1, 3, dan 5
ditelan 1 kapsul vaksin 1 jam sebelum makan dengan minuman yang tidak
lebih dari 37ºC. Kapsul ke-4 pada hari ke-7 terutama bagi turis.
- Kapsul harus ditelan utuh dan tidak boleh
dipecahkan karena kuman dapat dimatikan oleh asam lambung.
- Vaksin tidak boleh diberikan bersamaan dengan
antibiotik, sulfonamid, atau antimalaria yang aktif terhadap salmonella
- Imunisasi ulangan : tiap 5 tahun. Namun pada
individu yang terus terekspos dengan infeksi tifus sebaiknya diberikan 3-4
kapsul tiap beberapa tahun.
Vaksin
polisakarida parenteral
- Susunan vaksin polisakarida setiap 0,5 ml
mengandung kuman Salmonella typhi,
polisakarida 0,025 mg, fenol dan larutan bufer yang mengandung natrium
klorida, disodium fosfat, monosodium fosfat dan pelarut untuk suntikan.
- Penyimpanan pada suhu 2ºC-8ºC, jangan
dibekukan.
- Kadaluwarsa dalam 3 tahun.
- Pemberian secara suntikan intramuskular atau
subkutan pada daerah deltoid atau paha.
- Imunisasi ulangan tiap 3 tahun.
- Reaksi samping lokal berupa bengkak, nyeri,
kemerahan ditempat suntikan. Reaksi sistemik berupa demam, nyeri kepala,
pusing, nyeri sendi, nyeri otot, nausea, nyeri perut jarang dijumpai.
Sangat jarang bisa terjadi reaksi alergi berupa pruritus, ruam kulit dan
urtikaria
- Kontrandikasi : alergi terhadap bahan dalam
vaksin, juga pada saat demam, penyakit akut maupun penyakit kronik
progresif.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kasper, D. L., et al. Harrison 's
Principles of Internal Medicine. 16th Edition.
McGraw-Hill
Professional. 2004.
2. Http://www.who.int.
Background Document: The Diagnosis, Treatment and Prevention of Typhoid Fever.
2003.
3. Widodo, J. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Demam Tifoid. Edisi
ke-4. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta . 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar