10/03/12

copas tp asik

sekedar info buat cewe

* Carilah cowok yg berdiri di tengah hujan
menunggumu, bukan di mobil mewah menunggumu
sambil BBM dengan cewek lain * Carilah cowok yg akan kaya nanti bukan skrg. Bukan
atas warisan org tua dan menunggu uang jajan * Carilah cowok mampu yg menghargai dirimu
selayaknya wanita yg pantas. BUKAN COWOK YG
MAMPU MEMBELI LO *

DOKTER SARAP

Seorang gadis berusia 20-an menemui dr. Tomi, "seorang dokter pakar jiwa. "Dokter, saya merasa amat marah pada pacar saya
sehingga saya memanggilnya lelaki bangsat. Ada kalanya saya rasa dia keterlaluan,dan ada kalanya pula
saya rasa memang patut saya memanggil dia sepertiitu.." "Hmm.. panggilan itu memang hinaan yg
agak melampaui batas untuk seseorang.. tapi, mungkin kamu punya sebab tersendiri sehingga memangilnya demikian. Ceritakanlah kpd saya agar saya dapatmembantu.."
"Ya memang ada.. pd satu malam kami berduaan dalam mobil di tepi pantai.
Dia pegang tangan saya." "Dia pegang tangan kamu seperti ini?" dr Tomimemberi contoh."Ya. seperti yg
dokter lakukan""Kalau hanya ini, tidak sepatutnya dia
dipanggil bangsat dong. Itutandanya dia tidak mau
berpisah dgn kamu...""Kemudian dia merapatkan
badannya k epada saya dan memeluk bahu saya...""Dia
lakukan seperti inikah?""Ya. seperti inilah dia peluk saya dokter..""Itu bukan bangsat, itu tandanya dia mau
sentiasa berdampingan dgn kamu"kata dr Tomi.
"Kemudian dia cium saya.."
"Dia cium kamu seperti ini ?""Ya. Ciumannya sama
seperti yg dokter lakukan.""Kalau sekadar ciuman
seperti ini, masih belum boleh dipanggil bangsat dong, itu tandanya dia sayang kamu, toh?""Kemudian dia
memasukkan tangannya kedalam baju saya & meraba2
buahdada saya dokter..""Dia lakukan seperti ini
kah?""Ya, seperti yg dokter lakukan inilah cara dia
memperlakukannya..""Itu bukan bangsat, itu tandanya
dia mau membelai diri kamu.." "Kemudian dia menanggalkan semua pakaian saya
satu persatu..""Adakah kamu membantah
tindakannya?""Tidak, saya merelakannya sebab saya
sayang dia..""Dia tanggalkan pakaian kamu seperti
ini ?""Ya, sampai saya telanjang bulat seperti ini
dokter..." "Itu masih belum layak dipanggil bangsat, karena dia
sebetulnya inginmengenali diri kamu
seutuhnya""Kemudian dia mencumbui saya lalu
melakukan hubungan seksual dgn saya dok...""Dia
lakukan seperti yg kita lakukan tadi kah?""Ya. Memang
itulah yg dia lakukan ketika itu""hmm, itu juga masih belum boleh dipanggil bangsat. Itu tandanya
diamemerlukan kamu dong!" "Tapi kemudian dia memberitahu saya bahwa dia
sebenarnya mengidap AIDS" "HAH?? BRENGSEK!! DIA..MEMANG .. BANGSAT!!..
BANGSAAATTT!!!!..
LELAKIBAAANGSAAAAAAAATTTTTT!!!!!!!!!!!!!!!!!****

08/03/12

omsk refrat


BAB I
PENDAHULUAN


            Otitis media ialah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Penyakit ini terbagi menjadi otitis media supuratif dan otitis media non supuratif. Masing-masing golongan mempunyai bentuk akut dan kronis, sehingga secara rinci penyakit ini terbagi menjadi otitis media supuratif akut (OMA), otitis media supuratif kronis (OMSK), otitis media serosa akut, dan otitis media serosa kronis. Selain itu, terdapat juga otitis media tuberkulosa, otitis media sifilitika, dan otitis media adhesiva.1 Pada makalah ini, akan dibahas tentang otitis media supuratif kronik.





BAB II
PEMBAHASAN


2.1.         Definisi dan Latar Belakang
Otitis media supuratif kronis (OMSK), dahulu disebut otitis media perforata (OMP) atau dalam bahasa awam disebut sebagai congek, ialah infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah, baik terus-menerus atau hilang timbul. Penyakit ini muncul sebagai kelanjutan dari OMA yang rekuren, namun dapat pula muncul sebagai kelanjutan dari penyakit lain dan trauma. OMA dengan perforasi membran timpani akan menjadi OMSK apabila prosesnya sudah lebih dari 2 bulan. Bila proses infeksi kurang dari 2 bulan, maka disebut OMS subakut. Perbedaan OMSK dengan otitis media serosa kronis adalah bahwa pada otitis media serosa kronis tidak disertai adanya perforasi membran timpani.1,2,5
Penyakit ini sudah dikenal sejak jaman dahulu di berbagai belahan dunia. Orang Mesir kuno mengenal OMSK sebagai penyakit telinga dan mengobatinya dengan lemak bebek, boraks, dan susu sapi. Sementara ahli pengobatan tradisional India mengobati penyakit ini melalui pendekatan medis dan perilaku. Mereka menganggap bahwa mengkonsumsi mentega, bersikap diam, dan mencegah kelelahan, dapat mengobati OMSK. Hippocrates memahami bahwa OMSK dapat bersifat rekuren dan menempatkan pasien pada terapi medis dan perilaku yang berbeda tergantung dari supurasi yang terjadi. Dia akan meresepkan air hangat, air susu ibu, dan minuman anggur manis, serta menyarankan kepada pasiennya untuk menghindari sinar matahari, angin kencang, dan ruangan berasap. Untuk kasus rekuren, Hippocrates akan menambahkan serbuk topikal berisi timbal oksida dan timbal karbonat.5
McKenzie dan Brothwell (1967) menyatakan tentang dokumentasi OMSK pada jaman prasejarah dan penemuan kolesteatoma pada tulang tengkorak di Norfolk, Inggris, yang diduga berasal dari periode Anglo-Saxon. Perubahan radiologi pada mastoid akibat infeksi ditemukan pada 417 tulang temporal dari pemakaman orang Indian Dakota Selatan (Gregg, 1965) dan pada 15 tulang temporal orang Iran jaman prasejarah (Rathbun, 1977).3

2.2.         Epidemiologi
Insidensi OMSK tampaknya tergantung pada ras dan faktor sosioekonomi. OMSK lebih sering ditemukan pada orang Eskimo, Indian Amerika (Fairbanks, 1981), Alaska (Tschopp, 1977), anak-anak Aborigin Australia (McCafferty, 1977), dan kulit hitam Afrika Selatan (Meyrick, 1951).3

2.2.1.      Frekuensi
Di Amerika Serikat, terdapat lebih dari satu juta pemasangan saluran ventilasi pada membran timpani sebagai penatalaksanaan terhadap otitis media dan otitis media serosa, dan dilaporkan bahwa pada 1 – 3 % yang mendapatkan pemasangan saluran ventilasi tersebut, akan mengalami OMSK. Selain itu, beberapa penelitian menunjukkan bahwa insidensi OMSK mencapai 39 kasus per 100.000 anak-anak dan remaja berusia 15 tahun ke bawah. Di Inggris, 0,9 % anak-anak dan 0,5 % orang dewasa menderita OMSK. Sementara di Israel, hanya 0,039 % anak-anak yang terkena penyakit ini.5
2.2.2.      Ras
Beberapa populasi ras tertentu memiliki risiko lebih tinggi untuk menderita OMSK. Orang Indian Amerika dan Eskimo menunjukkan kecenderungan peningkatan risiko untuk terkena infeksi ini. Sekira 8 % orang Indian Amerika dan hingga 12 % orang Eskimo menderita OMSK. Anatomi dan fisiologi tuba Eustachius memiliki peran penting pada peningkatan risiko ini. Tuba Eustachius pada kedua populasi tersebut lebih lebar dan lebih terbuka dibandingkan dengan populasi lainnya, sehingga mereka lebih berisiko untuk mengalami refluks bakteri melalui nasal yang biasa terjadi pada OMA yang dapat berkembang lebih lanjut menjadi OMSK. Selain kedua populasi tersebut, populasi lainnya yang memiliki peningkatan risiko terkena OMSK adalah anak-anak dari Guam, Hong Kong, Afrika Selatan, dan Kepulauan Solomon.5
2.2.3.      Jenis Kelamin
Prevalensi OMSK tampaknya terbagi rata antara pria dan wanita, sehingga diduga penyakit ini tidak memiliki kecenderungan untuk diderita oleh jenis kelamin tertentu.5
2.2.4.      Usia
Prevalensi yang tepat dari OMSK terhadap berbagai kelompok usia belum diketahui secara pasti. Namun beberapa penelitian menunjukan insidensi tahunan OMSK mencapai 39 kasus per 100.000 anak-anak dan remaja berusia 15 tahun ke bawah.5

2.3.         Etiologi
Mekanisme infeksi saluran telinga tengah terjadi akibat translokasi bakteri dari saluran telinga luar melalui perforasi memban timpani kemudian masuk ke telinga tengah. Beberapa ahli menduga bahwa organisme patogen masuk melalui refluks tuba Eustachius, namun data-data yang mendukung teori ini kurang memuaskan. Sebagian besar bakteri patogen yang masuk adalah bakteri yang terdapat pada saluran telinga luar.5
Beberapa penelitian yang berupaya menunjukkan hubungan antara frekuensi penyakit dengan pendidikan orang tua, perokok pasif, pola menyusui, status sosioekonomi, dan jumlah infeksi saluran pernafasan atas dalam setahun, tidak memberikan hasil yang memuaskan.5
Pasien dengan anomali kraniofasial merupakan populasi khusus yang berisiko untuk menderita OMSK. Celah palatum, sindrom Down, sindrom Cri du Chat, atresia khoana, celah bibir, dan mikrosefal adalah berbagai kelainan yang dapat meningkatkan risiko OMSK. Hal ini diduga karena adanya perubahan anatomi dan fungsi tuba Eustachius pada berbagai kelainan tersebut.5
Jenis bakteri penyebab OMSK berbeda dengan jenis bakteri penyebab OMA. Organisme yang biasa ditemukan pada OMSK meliputi Pseudomonas aeruginosa, spesies Proteus, Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumoniae, difteroid, dan infeki anaerobik campuran. Bakteri anaerob dan jamur dapat pula berkembang bersama dengan bakteri aerob secara simbiotik.2,5
Pseudomonas aeruginosa merupakan penyebab tersering yang ditemukan pada OMSK. Berbagai ahli selama beberapa dekade terakhir menemukan bakteri ini pada 48 – 98 % pasien dengan OMSK. Stafilokokus aureus merupakan organisme tersering kedua; data menunjukkan bahwa bakteri ini ditemukan pada 15 – 30 % pasien dengan OMSK. OMSK juga disebabkan oleh berbagai jenis bakteri gram negatif. Bakteri spesies Klebsiella (10 – 21 %) dan Proteus (10 – 15 %) sedikit lebih sering ditemukan pada OMSK dibandingkan dengan bakteri gram negatif lainnya.5
Selain faktor bakteri, status sosioekonomi yang rendah, kepadatan penduduk yang tinggi, gizi buruk, dan penyakit infeksi (seperti campak), turut berperan dalam perkembangan OMSK. OMSK dapat pula merupakan hasil dari predisposisi genetik, terutama berkaitan dengan disfungsi tuba Eustachius. Disfungsi ini dapat dilihat pada berbagai populasi, seperti pada orang Eskimo dan Indian Amerika, dan juga pada orang dengan celah palatum. Hipertrofi adenoid dan sinustis kronis juga berperan pada perkembangan OMSK.3

2.4.         Patofisiologi
OMSK timbul sebagai kelanjutan dari infeksi akut yang berulang. Patofisiologi OMSK diawali dengan iritasi dan inflamasi subsekuen pada mukosa telinga tengah. Respon inflamasi menyebabkan edema mukosa. Proses peradangan yang berlangsung pada akhirnya menyebabkan ulserasi mukosa dan kerusakan epitel. Upaya tubuh untuk menanggulangi infeksi atau peradangan menghasilkan jaringan granulasi yang dapat berkembang menjadi polip dalam rongga telinga tengah. Siklus inflamasi, ulserasi, infeksi, dan pembentukan jaringan granulasi dapat terus berlanjut, sehingga menyebabkan kerusakan tulang di sekitarnya dan akhirnya menyebabkan berbagai komplikasi dari OMSK.5
Walaupun belum terbukti, kepentingan hubungan antara bakteri anaerob dengan bakteri aerob pada OMSK diduga meningkatkan virulensi infeksi ketika kedua jenis bakteri tersebut berkembang di telinga tengah. Dengan memahami mikrobiologi penyakit ini, ahli kesehatan dapat mengembangkan suatu rencana penatalaksanaan dengan efikasi terbaik dan morbiditas terendah.2,5
2.5.         Jenis
OMSK dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu OMSK tipe benigna (tipe mukosa = tipe aman) dan OMSK tipe ”maligna” (tipe tulang = tipe bahaya). Berdasarkan aktifitas sekret yang keluar, dikenal juga OMSK aktif dan OMSK tenang. OMSK aktif ialah OMSK dengan sekret yang keluar dari kavum timpani secara aktif, sedangkan OMSK tenang ialah yang keadaan kavum timpaninya terlihat basah atau kering.1
Proses peradangan pada OMSK tipe benigna terbatas pada mukosa saja, dan biasanya tidak mengenai tulang. Perforasi terletak di sentral. Umumnya OMSK tipe benigna jarang menimbulkan komplikasi yang berbahaya. Pada OMSK tipe benigna tidak terdapat kolesteatoma.1
Yang dimaksud dengan OMSK tipe maligna ialah OMSK yang disertai dengan kolesteatoma. OMSK ini dikenal juga dengan OMSK tipe bahaya atau OMSK tipe tulang. Perforasi pada OMSK tipe maligna letaknya marginal atau di atik, terkadang terdapat juga kolesteatoma pada OMSK dengan perforasi subtotal. Sebagian besar komplikasi yang berbahaya timbul pada OMSK tipe maligna.1

2.6.         Diagnosis
Diagnosis OMSK ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Apabila diperlukan, maka pemeriksaan penunjang dapat dilakukan.

2.6.1.      Anamnesis
Untuk menegakkan diagnosis OMSK melalui anamnesis, maka pemeriksa perlu menanyakan / mengetahui hal-hal sebagai berikut:1,5
  1. Sekret keluar dari telinga tengah, baik terus-menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah.
  2. Gangguan pendengaran pada telinga yang terkena.
  3. Riwayat OMA rekuren, perforasi karena trauma, atau pemasangan saluran ventilasi.
  4. Adanya demam, vertigo, atau nyeri dapat menunjukkan adanya komplikasi intratemporal atau intrakranial.
  5. Riwayat OMSK persisten harus dicurigai sebagai adanya kolesteatoma.
2.6.2.      Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, akan ditemukan hal-hal sebagai berikut:1,5
  1. Kanalis akustikus eksterna dapat terlihat edema dan biasanya tampak keras.
  2. Sekret dapat berupa encer atau kental, bening atau berupa nanah.
  3. Perforasi membran timpani.
  4. Adanya jaringan granulasi yang terlihat pada kanalis media atau rongga telinga tengah.
  5. Mukosa telinga tengah yang terlihat melalui perforasi membran timpani, dapat terlihat edema atau polipoid, pucat atau edema.
2.6.3.      Pemeriksaan Penunjang
·         Laboratorium
-          Penatalaksanaan OMSK dapat dilakukan tanpa pemeriksaan laboratorium.
·         Pencitraan
-          CT Scan
                                                  1.        Jika OMSK tidak responsif terhadap terapi medikamentosa, maka CT scan terhadap tulang temporal dapat memberikan penjelasan. Alasan yang mungkin terjadi pada kegagalan terapi termasuk kolesteatoma atau adanya benda asing.
                                                  2.        CT scan perlu dilakukan apabila pemeriksa curiga adanya proses neoplastik pada telinga tengah atau untuk mengantisipasi komplikasi intratemporal atau intrakranial.
                                                  3.        CT scan dapat menunjukkan adanya erosi tulang akibat kolesteatoma, erosi osikular, keterlibatan apeks petrosus, mastoiditis koalesen, erosi saluran Fallopi, dan abses subperiosteal.

-          MRI
                                                  1.        Lakukan pemeriksaan MRI pada tulang temporal dan otak jika diduga adanya komplikasi intratemporal atau intrakranial.
                                                  2.        MRI pun dapat menunjukkan adanya peradangan dura, trombosis sinus sigmoid, labirintitis, serta abses bakteri, ekstradural, dan intrakranial.
·         Lain-lain
-          Audiogram sebaiknya juga dilakukan. Pada pasien dengan OMSK, pasien diduga akan menderita tuli konduktif. Namun jika pasien menderita tuli campuran, maka hal ini menunjukkan penyakit tersebut berada dalam keadaan lebih ekstensif, sehingga pemeriksa harus sadar terhadap komplikasi yang mungkin terjadi.

2.7.         Penatalaksanaan
Terapi OMSK tidak jarang memerlukan waktu lama, serta harus berulang-ulang. Sekret yang keluar tidak cepat mengering atau selalu kambuh lagi. Keadaan ini antara lain disebabkan oleh beberapa keadaan, yaitu:1
1.      Adanya perforasi membran timpani yang permanen, sehingga telinga tengah berhubungan dengan dunia luar.
2.      Terdapat sumber infeksi di faring, nasofaring, hidung, dan sinus paranasal.
3.      Sudah terbentuk jaringan patologis yang ireversibel dalam rongga mastoid.
4.      Gizi dan higienis yang kurang.

2.7.1.      Medikamentosa
            Prinsip terapi OMSK tipe benigna ialah konservatif atau dengan medikamentosa. Bila sekret yang keluar terus-menerus, maka diberikan obat pencuci telinga berupa larutan H2O2 3 % selama 3 – 5 hari. Setelah sekret berkurang, maka terapi dilanjutkan dengan memberikan obat tetes telinga yang mengandung antibiotika dan kortikosteroid. Banyak ahli berpendapat bahwa semua obat tetes yang dijual di pasaran saat ini mengandung antibiotika yang bersifat ototoksik. Oleh sebab itu, Djaafar (2004) menganjurkan agar obat tetes telinga tidak diberikan terus-menerus lebih dari 1 atau 2 minggu, atau pada OMSK yang sudah tenang. Secara oral diberikan antibiotika dari golongan ampisilin, atau eritromisin (bila pasien alergi terhadap penisilin), sebelum tes hasil resistensi diterima. Pada infeksi yang dicurigai karena penyebabnya telah resisten terhadap ampisilin, dapat diberikan ampisilin asam klavulanat.1
2.7.2.      Pembedahan
Indikasi pembedahan pada OMSK adalah sebagai berikut:3
·         Perforasi yang bertahan lebih dari 6 minggu.
·         Otore yang berlangsung lebih dari 6 minggu setelah menggunakan antibiotik.
·         Pembentukan kolesteatoma.
·         Bukti radiografi adanya mastoiditis kronis.
Jenis operasi mastoid yang dilakukan tergantung pada luasnya infeksi atau kolesteatoma, sarana yang tersedia, serta pengalaman operator. Beberapa jenis pembedahan atau teknik operasi yang dapat dilakukan pada OMSK dengan mastoiditis kronis, baik tipe benigna atau maligna, antara lain:1

1.      Mastoidektomi sederhana (simple mastoidectomy).
      Operasi ini dilakukan pada OMSK tipe benigna yang dengan pengobatan konservatif tidak sembuh. Dengan tindakan operasi ini, dilakukan pembersihan ruang mastoid dari jaringan patologis. Tujuannya ialah agar infeksi tenang dan telinga tidak berair lagi. Pada operasi ini, fungsi pendengaran tidak diperbaiki.
2.      Mastoidektomi radikal.
Operasi ini dilakukan pada OMSK maligna dengan infeksi atau kolesteatoma yang sudah meluas, Pada operasi ini, rongga mastoid dan kavum timpani dibersihkan dari semua jaringan patologis. Dinding batas antara lubang telinga luar dan telinga tengah dengan rongga mastoid diruntuhkan, sehingga ketiga daerah anatomi tersebut menjadi satu ruangan. Tujuan operasi ini ialah untuk membuang semua jaringan patologis dan mencegah komplikasi ke intrakranial. Fungsi pendengaran tidak diperbaiki.
Kerugian operasi ini ialah pasien tidak diperbolehkan berenang seumur hidupnya. Pasien harus datang dengan teratur untuk kontrol agar tidak terjadi infeksi kembali. Pendengaran berkurang sekali sehingga dapat menghambat pendidikan atau karir pasien.
Modifikasi operasi ini ialah dengan memasang tandur (graft) pada rongga operasi serta membuat meatal plasty yang lebar, sehingga rongga operasi kering permanen, tetapi terdapat cacat anatomi, yaitu meatus luar lubang telinga menjadi lebar.
3.      Mastoidektomi radikal dengan modifikasi. (Operasi Bondy).
Opeasi ini dilakukan pada OMSK dengan kolesteatoma di daerah atik, tetapi belum merusak kavum timpani. Seluruh rongga mastoid dibersihkan dan dinding posterior lubang telinga direndahkan. Tujuan operasi ialah untuk membuang semua jaringan patologis dari rongga mastoid, dan mempertahankan pendengaran yang masih ada.
4.      Miringoplasti.
Operasi ini merupakan jenis timpanoplasti yang paling ringan, dikenal juga dengan nama timpanoplasti tipe I. Rekonstruksi hanya dilakukan pada membrana timpani. Tujuan operasi ialah untuk mencegah berulangnya infeksi telinga tengah pada OMSK tipe benigna dengan perforasi yang menetap. Opearasi ini dilakukan pada OMSK tipe benigna yang sudah tenang dengan ketulian ringan yang hanya disebabkan oleh perforasi membran timpani.
5.      Timpanoplasti.
Operasi ini dikerjakan pada OMSK tipe benigna dengan kerusakan yang lebih berat atau OMSK tipe benigna yang tidak bisa ditenangkan dengan pengobatan medikamentosa. Tujuan operasi ialah untuk menyembuhkan penyakit serta memperbaiki pendengaran.
Pada operasi ini, dilakukan rekonstruksi membran timpani dan rekonstruksi tulang pendengaran. Berdasarkan bentuk rekonstruksi tulang pendengaran yang dilakukan, maka dikenal istilah timpanoplasti tipe II, III, IV, dan V. Sebelum rekonstruksi dikerjakan, dilakukan terlebih dahulu eksplorasi kavum timpani dengan atau tanpa mastoidektomi untuk membersihkan jaringan patologis. Tidak jarang operasi ini terpaksa dilakukan dua tahap dengan jarak waktu 6 – 12 bulan.
6.      Pendekatan kombinasi timpanoplasti (Combined approach tympanoplasty).
Operasi ini merupakan teknik operasi timpanoplasti yang dikerjakan pada kasus OMSK tipe maligna atau OMSK tipe benigna dengan jaringan granulasi yang luas. Tujuan operasi ini ialah untuk menyembuhkan penyakit serta memperbaiki pendengaran tanpa melakukan teknik mastoidektomi radikal (tanpa meruntuhkan dinding posterior lubang telinga).
Pembersihan kolesteatoma dan jaringan granulasi di kavum timpani, dikerjakan melalui dua jalan (combined approach), yaitu melalui lubang telinga dan rongga mastoid dengan melakukan timpanotomi posterior. Teknik operasi ini pada OMSK tipe maligna belum disepakati oleh para ahli, karena sering terjadi kolesteatoma kambuh kembali.

2.8.         Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi pada OMSK adalah sebagai berikut:2,5
  1. Mastoiditis.
  2. Apisitis petrosus.
  3. Osteomielitis basis kranii otogenik.
  4. Paralisis wajah.
  5. Labirintitis.
  6. Trombosis sinus sigmoid.
  7. Infeksi sistem saraf pusat.





BAB III
PENUTUP


            Dengan memperhatikan pembahasan pada bab sebelumnya, kita menjadi sadar bahwa OMSK merupakan salah satu penyakit pada telinga yang dapat menyebabkan kerusakan lebih lanjut pada berbagai organ lain apabila tidak ditangani sejak dini secara tepat. Oleh karena itu, setelah memperhatikan pembahasan pada makalah ini, kita diharapkan mampu untuk mengenali penyakit tersebut agar dapat melakukan pencegahan  serta melakukan penatalaksaan sedini dan seoptimal mungkin.

DAFTAR PUSTAKA


1.      Djaafar, Z.A. 2004. Kelainan Telinga Tengah. Dalam E.A. Soepardi dan N. Iskandar, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga – Hidung – Tenggorok - Kepala – Leher. Edisi V Cetakan IV. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
2.      Jackler, R.K.; Kaplan, M.J. 2002. Ear, Nose, & Throat. Dalam L.M. Tierney, Jr., S.J. McPhee, dan M.A. Papadakis; Current Medical Diagnosis & Treatment 2002. San Fransisco: Lange Medical Books / McGraw-Hill.
3.      Jain, A.; Knight, J.R. 2003. Middle Ear, Chronic Suppurative Otitis, Surgical Treatment. www.emedicine.com: situs internet.
4.      Jones, M.; Wilson, L. 2004. Otitis Media. www.emedicine.com: situs internet.
5.      Parry, D.; Roland, P.S. 2005. Middle Ear, Chronic Suppurative Otitis, Medical Treatment. www.emedicine.com: situs internet.

tonsilitis refrat


ANATOMI TONSIL
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh j aringan ikat dengan kriptus didalamnya. Terdapat tiga macam tonsil, yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina dan tonsil lingual.


Tonsila Faringeal
Adenoid atau bursa faringeal/faringeal tonsil merupakan massa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen dengan selah atau kantung diantaranya.Adenoid bertindak sebagai kelenjar limfe yang terletak di perifer, yang duktus eferennya menuju kelenjar limfe leher yang terdekat. Dilapisi epitel selapis semu bersilia yang merupakan kelanjutan epitel pernafasan dari dalam hidung dan mukosa sekitar nasofaring.  Adenoid mendapat suplai darah dari A. Karotis Interna dan sebagian kecil cabang palatina A. Maksilaris. Darah vena dialirkan sepanjang pleksus faringeus ke dalam Vena Jugularis Interna. Aliran limfe melalui kelenjar interfaringeal yang kemudian masuk ke dalam kelenjar Jugularis.  Persarafan sensoris melalui N. Nasofaringeal, cabang N IX serta N. Vagus.


Tonsila Lingualis
Tonsila Lingualis merupakan kumpulan jaringan limfoid yang tidak berkapsul dan terdapat pada basis lidah diantara kedua tonsil palatina, dan meluas ke arah anteroposterior dari papila sirkumvalata ke epiglotis.  Pada permukaannya terdapat kripta yang dangkal dengan jumlah yang sedikit. Sel-sel limfoid ini sering mengalami degenerasi disertai deskuamasi sel-sel epitel dan bakteri, yang akhirnya membentuk detritus. Tonsila lingualis mendapat perdarahan dari A. Lingualis yang merupakan cabang dari A. Karotis Eksterna. Darah vena dialirkan sepanjang V. Lingualis ke Vena Jugularis Interna. Aliran limfe menuju ke kelenjar servikalis profunda. Persarafannya melalui cabang lingual N. IX.

Tonsila Palatina
Tonsila palatine yang lebih dikenal sebagai tonsil dalam pengertian sehari-hari terletak dalam fossa tonsilaris, berbentuk oval dengan berat sekitar 1,5 gram. Fossa tonsilaris, di bagian depan dibatasi oleh pilar anterior (arkus palatina anterior), sedangkan di bagian belakang dibatasi oleh pilar posterior (arkus palatina posterior), yang kemudian bersatu di pole atas dan selanjutnya bersama-sama dengan m. Palatina membentuk palatum molle.
            Permukaan lateral tonsil dilapisi oleh kapsula fibrosa yang kuat dan berhubungan dengan fascia faringobasilaris yang melapisi m.Konstriktor Faringeus. Kapsul tonsil tersebut masuk ke dalam jaringan tonsil , membentuk septa yang mengandung pembuluh darah dan saraf tonsil.
Permukaan tonsil merupakan permukaan bebas dan mempunyai lekukan yang merupakan muara kripta tonsil. Kripta tonsil berjumlah sekitar 10-20 buah, berbentuk celah kecil yang dilapisi oleh epitel berlapis gepeng. Kripta yang paling besar terletak di pole atas, sering menjadi tempat pertumbuhan kuman karena kelembaban dan suhunya sesuai untuk pertumbuhan kuman, dan juga karena tersedianya substansi makanan di daerah tersebut.
            Kutub bawah tonsil melekat pada lipatan mukosa yang disebut  plika triangularis dimana pada bagian bawahnya terdapat folikel yang kadang membesar. Plika ini penting karena sikatriks yang terbentuk setelah proses tonsilektomi dapat menarik folikel tersebut ke dalam fossa tonsilaris, sehingga dapat dikelirukan sebagai sisa tonsil.
            Pole atas tonsil terletak pada cekungan yang berbentuk bulan sabit, disebut sebagai plika semilunaris. Pada plika ini terdapat massa kecil lunak, letaknya dekat dengan ruang supratonsil dan disebut ‘glandula salivaris mukosa dari Weber, yang penting peranannya dalam pembentukan abses peritonsil. Pada saat tonsilektomi, jaringan areolar yang lunak, antara tonsil dangan fossa tonsilaris mudah dipisahkan.
            Di sekitar tonsil terdapat tiga ruang potensial yang secara klinik sering menjadi tempat penyebaran infeksi dari tonsil, yaitu :
§  Ruang peritonsil (ruang supratonsil)
Berbentuk hampir segitiga dengan batas-batas :
o   Anterior                             : M. Palatoglossus
o   Lateral dan Posterior         : M. Palatofaringeus
o   Dasar segitiga                    : Pole atas tonsil
Dalam ruang ini terdapat kelenjar salivari Weber, yang bila terinfeksi dapat menyebar ke ruang peritonsil, menjadi abses peritonial.
§  Ruang retromolar
Terdapat tepat di belakang gigi molar tiga berbentuk oval, merupakan sudut yang dibentuk oleh ramus dan korpus mandibula. Di sebelah medial terdapat m. Buccinator, sementara pada bagian posteromedialnya terdapat m. Pterigoideus Internus dan bagian atas terdapat fasikulus longus m.temporalis. bila terjadi abses hebat pada daerah ini akan menimbulkan gejala utama trismus disertai sakit yang amat sangat, sehingga sulit dibedakan dengan abses peritonsilar.
§  Ruang parafaring (ruang faringomaksilar ; ruang pterigomandibula)
Merupakan ruang yang lebih besar dan luas serta banyak terdapat pembuluh darah besar, sehingga bila terjadi abses berbahaya sekali. Adapun batas-batas ruang ini adalah :
o   Superior     : basis cranii dekat foramen jugulare
o   Inferior      : os hyoid
o   Medial       : m. Konstriktor faringeus superior

o   Lateral       : ramus asendens mandibula, tempat m.Pterigoideus Interna dan        
   bagian posterior kelenjar parotis
o   Posterior    : otot-otot prevertebra.
Ruang parafaring ini terbagi 2 (tidak sama besar) oleh prosessus styloideus dan otot-otot yang melekat pada prosessus styloideus tersebut.
o   Ruang pre-styloid, lebih besar, abses dapat timbul oleh karena : radang tonsil, mastoiditis, parotitis, karies gigi atau tindakan operatif.
o   Ruang post-styloid, lebih kecil, di dalamnya terdapat : A. Karotis Interna, V. Jugularis, N. Vagus dan saraf-saraf simpatis.

Tonsil diperdarahi oleh beberapa cabang pembuluh darah, yaitu :
o   A.Palatina Asendens, cabang  A. Fasialis memperdarahi bagian postero inferior
o   A.Tonsilaris, cabang A.Fasialis memperdarahi daerah antero inferior
o   A.Lingualis Dorsalis, cabang A.Maksilaris Interna memperdarahi daerah antero media
o   A.Faringeal Asendens, cabang A.Karotis Eksterna memperdarahi daerah postero superior
o   A.Palatina Desendens dan cabangnya, A.Palatina Mayor dan Minor memperdarahi daerah antero superior.
Darah vena dialirkan melalui pleksus venosus perikapsular ke V. Lingualis dan pleksus venosus faringeal, yang kemudian bermuara ke V. Jugularis Interna. Pembuluh vena tonsil berjalan dari palatum, menyilang bagian lateral kapsula dan selanjutnya menembus dinding faring.


            Tonsil tidak mempunyai sistem limfatik aferen. Aliran limfe dari parenkim tonsil ditampung pada ujung pembuluh limfe eferen yang terletak pada trabekula, yang kemudian membentuk pleksus pada permukaan luar tonsil dan berjalan menembus m. Konstriktor Faringeus Superior, selanjutnya menembus fascia bucofaringeus dan akhirnya menuju kelenjar servikalis profunda yang terletak sepanjang pembuluh darah besar leher, di belakang dan di bawah arkus mandibula. Kemudian aliran limfe dilanjutkan ke nodulus limfatikus daerah dada untuk selanjutnya bermuara ke dalam duktus torasikus.
Inervasi tonsil terutama melalui N. Palatina Mayor dan Minor (cabang N V) dan N. Lingualis (cabang N IX). Nyeri pada tonsilitis sering menjalar ke telinga, hal ini terjadi karena N IX juga mempersarafi membran timpani dan mukosa telinga tengah melalui “Jacobson’s Nerve”. 

2. FISIOLOGI TONSIL
            Tonsil mempunyai peranan penting dalam fase-fase awal kehidupan, terhadap infeksi mukosa nasofaring dari udara pernafasan sebelum masuk ke dalam saluran nafas bagian bawah. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa parenkim tonsil mampu menghasilkan antibodi. Tonsil memegang peranan dalam menghasilkan Ig-A, yang menyebabkan jaringan lokal resisten terhadap organisme patogen.
            Sewaktu baru lahir, tonsil secara histologis tidak mempunyai centrum germinativum, biasanya ukurannya kecil. Setelah antibodi dari ibu habis, barulah mulai terjadi pembesaran tonsil dan adenoid, yang pada permulaan kehidupan masa anak-anak dianggap normal dan dapat dipakai sebagai indeks aktifitas sistem imun. Pada waktu pubertas atau sbelum masa pubertas, terjadi kemunduran fungsi tonsil yang disertai proses involusi.
Terdapat dua mekanisme pertahanan , yaitu spesifik dan non spesifik.

Mekanisme Pertahanan Non-Spesifik
Mekanisme pertahanan spesifik berupa lapisan mukosa tonsil dan kemampuan limfoid untuk menghancurkan mikroorganisme. Pada beberapa tempat lapisan mukosa ini sangat tipis, sehingga menjadi tempat yang lemah dalam pertahanan dari masuknya kuman ke dalam jaringan tonsil. Jika kuman dapat masuk ke dalam lapisan mukosa, maka kuman ini dapat ditangkap oleh sel fagosit. Sebelumnya kuman akan mengalami opsonisasi sehingga menimbulkan kepekaan bakteri terhadap fagosit.
            Setelah terjadi proses opsonisasi maka sel fagosit akan bergerak mengelilingi bakteri dan memakannya dengan cara memasukkannya dalam suatu kantong yang disebut fagosom. Proses selanjutnya adalah digesti dan mematikan bakteri. Mekanismenya belum diketahui pasti, tetapi diduga terjadi peningkatan konsumsi oksigen yang diperlukan untuk pembentukan superoksidase yang akan membentuk H2O2, yang bersifat bakterisidal.  H2O2 yang terbentuk akan masuk ke dalam fagosom atau berdifusi di sekitarnya, kemudian membunuh bakteri dengan proses oksidasi.
            Di dalam sel fagosit terdapat granula lisosom. Bila fagosit kontak dengan bakteri maka membran lisosom akan mengalami ruptur dan enzim hidrolitiknya mengalir dalam fagosom membentuk rongga digestif, yang selanjutnya akan menghancurkan bakteri dengan proses digestif.



Mekanisme Pertahanan Spesifik
Merupakan mekanisme pertahanan yang terpenting dalam pertahanan tubuh terhadap udara pernafasan sebelum masuk ke dalam saluran nafas bawah. Tonsil dapat memproduksi Ig-A yang akan menyebabkan resistensi jaringan lokal terhadap organisme patogen. Disamping itu tonsil dan adenoid juga dapat menghasilkan Ig-E yang berfungsi untuk mengikat sel basofil dan sel mastosit, dimana sel-sel tersebut mengandung granula yang berisi mediator vasoaktif, yaitu histamin.
            Bila ada alergen maka alergen itu akan bereaksi dengan Ig-E, sehingga permukaan sel membrannya akan terangsang dan terjadilah proses degranulasi. Proses ini menyebabkan keluarnya histamin, sehingga timbul reaksi hipersensitifitas tipe I, yaitu atopi, anafilaksis, urtikaria, dan angioedema.
            Dengan teknik immunoperoksidase, dapat diketahui bahwa Ig-E dihasilkan dari plasma sel, terutama dari epitel yang menutupi permukaan tonsil, adenoid, dan kripta tonsil.
            Mekanisme kerja Ig-A adalah mencegah substansi masuk ke dalam proses immunologi, sehingga dalam proses netralisasi dari infeksi virus, Ig-A mencegah terjadinya penyakit autoimun. Oleh karena itu Ig-A merupakan barier untuk mencegah reaksi imunologi serta untuk menghambat proses bakteriolisis.

3. TONSILITIS
Tonsilitis adalah  peradangan umum dan pembengkakan dari jaringan  tonsila yang biasanya disertai dengan pengumpulan leukosit, sel-sel epitel mati, dan bakteri pathogen dalam kripta.

3.1. Tonsilitis Akut                           
3.1.1. Etiologi
            Tonsilitis bakterial supurativa akut paling sering disebabkan oleh Grup A Streptococcus beta hemolitikus. Meskipun pneumokokus, stafilokokus dan Haemophilus influenzae juga virus patogen dapat dilibatkan. Kadang-kadang streptokokus non hemolitikus atau streptokokus viridans, ditemukan pada biakan, biasanya pada kasus-kasus berat.
3.1.2.  Patofisiologi
            Infeksi bakteri pada lapisan  epitel jaringan  tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya lekosit polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Detritus ini merupakan kumpulan lekosit, bakteri yang mati, dan epitel yang terlepas. Secara klinis detritus ini mengisi kripta tonsil dan tampak sebagai bercak kuning.  Perbedaan strain atau virulensi dari penyebab tonsilitis  dapat menimbulkan variasi dalam fase patologi sebagai berikut:
  1. Peradangan biasa pada area tonsil saja
  2. Pembentukan eksudat
  3. Selulitis pada tonsil dan daerah sekitarnya
  4. Pembentukan abses peritonsilar
  5. Nekrosis jaringan
            Bentuk tonsillitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsillitis folikularis, bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur alur maka akan terjadi tonsillitis lakunaris. Bercak detritus ini dapat melebar sehingga terbentuk membrane semu (pseudomembran) yang menutupi tonsil.

3.1.3.  Gejala dan Tanda
            Gejala dan  tanda yang sering ditemukan adalah nyeri tenggorokan, nyeri waktu menelan dan pada kasus berat penderita menolak makan dan minum melalui mulut.  Biasanya disertai demam dengan suhu tubuh yang tinggi, rasa nyeri pada sendi-sendi, tidak nafsu makan dan nyeri pada telinga. Rasa nyeri di telinga ini karena nyeri alih melalui n Glosofaringeus. Seringkali disertai adenopati servikalis disertai nyeri tekan.  Pada pemeriksaan tampak tonsil membengkak, hiperemis dan terdapat detritus berbentuk folikel, lakuna, atau tertutup oleh membrane semu. Kelenjar submandibula membengkak dan nyeri tekan. 

3.1.4.  Pengelolaan
Pada umumnya penderita dengan tonsillitis akut serta demam sebaiknya tirah baring, pemberian cairan adekuat serta diet ringan.  Analgetik oral efektif untuk mengurangi nyeri.  Terapi antibiotik dikaitkan dengan biakan dan sensitivitas yang tepat.  Penisilin masih merupakan obat pilihan, kecuali jika terdapat resistensi atau penderita sensitive terhadap penisilin.  Pada kasus tersebut eritromisin atau antibiotik spesifik yang efektif melawan organisme sebaiknya digunakan. Pengobatan sebaiknya diberikan selama lima sampai sepuluh hari. Jika  hasil biakan didapatkan streptokokus beta hemolitikus terapi yang adekuat dipertahankan selama sepuluh hari untuk menurunkan kemungkinan komplikasi non supurativa seperti nefritis dan jantung rematik.   
Efektivitas obat kumur masih dipertanyakan, terutama apakah cairan dapat berkontak dengan dinding faring, karena dalam beberapa hal cairan ini tidak mengenai lebih dari tonsila palatina.  Akan tetapi pengalaman klinis menunjukkan bahwa dengan berkumur yang dilakukan secara rutin menambah rasa nyaman pada penderita dan mungkin mempengaruhi beberapa tingkat perjalanan penyakit. 
3.2. Tonsilitis Kronis
Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi dari semua penyakit tenggorokan yang berulang.  Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronik adalah rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisk dan pengobatan tonslitis akut yang tidak adekuat. Radang pada tonsil dapat disebabkan kuman Grup A Streptococcus beta hemolitikus, Pneumococcus, Streptococcus viridans dan Streptococcus piogenes. Gambaran klinis bervariasi dan diagnosa sebagian besar tergantung pada infeksi.


3.2.1  Gambaran Klinis
Gejala dan tanda yang sering ditemukan adalah nyeri tenggorok, rasa mengganjal pada tenggorokan, tenggorokan terasa kering, nyeri pada waktu menelan, bau mulut , demam dengan suhu tubuh yang tinggi, rasa lesu, rasa nyeri di sendi-sendi, tidak nafsu makan dan rasa nyeri di telinga (otalgia). Rasa nyeri di telinga ini dikarenakan nyeri alih (referred pain) melalui n. Glossopharingeus (n.IX).
Gambaran klinis pada tonsilitis kronis bervariasi, dan diagnosis pada umunya bergantung pada inspeksi.  Pada umumnya terdapat dua gambaran yang termasuk dalam kategori tonsilitis kronis, yaitu:
  1. Tonsilitis kronis hipertrofikans,
yaitu ditandai pembesaran tonsil dengan hipertrofi dan pembentukan jaringan parut.  Kripta mengalami stenosis,  dapat disertai dengan eksudat, seringnya purulen keluar dari kripta tersebut.
  1. Tonsilitis kronis atrofikans,
Yaitu ditandai dengan tonsil yang kecil (atrofi), di sekelilingnya hiperemis dan pada kriptanya dapat keluar sejumlah kecil sekret purulen yang tipis.
Dari hasil biakan tonsil, pada tonsilitis kronis didapatkan bakteri dengan virulensi rendah dan jarang ditemukan Streptococcus beta hemolitikus.
 
3.2.2.  Pengelolaan
            Antibotika spektrum luas, antipiretik dan obat kumur yang mengandung desinfektan. Pada keadaan dimana tonsilitis sangat sering timbul dan pasien merasa sangat terganggu, maka terapi pilihan adalah pengangkatan tonsil (tonsilektomi).

3.2.3.  Komplikasi
            Radang kronis tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya berupa Rhinitis kronis, Sinusitis atau Otitis media secara perkontinuitatum. Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau limfogen dan dapat timbul endokarditis, arthritis, miositis, nefritis, uveitis, irdosiklitis, dermatitis, pruritus, urtikaria dan furunkulosis.

3.3. TONSILITIS MEMBRANOSA
3.3.1.  Tonsilofaringitis Difterika
Frekuensi penyakit ini sudah menurun berkat keberhasilan imunisasi pada bayi dan anak. Penyebab tonsillitis difteri adalah Corynebacterium diphteriae, kuman yang termasuk gram positif dan hidup di saluran nafas bagian atas yaitu hidung faring dan laring.
Tonsillitis difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupun pada orang dewasa masih mungkin menderita penyakit ini.
Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu gejala umum, gejala lokal, dan gejala akibat eksotoksin.
Gejala umum seperti juga gejala infeksi lainnya: kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat, serta keluhan nyeri menelan. Gejala lokal yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk membran semu (pseudomembran).  Membran ini dapat meluas ke palatum mole, uvula, nasofaring,laring, trakea, dan bronkus yang dat menyumbat saluran nafas. Membran semu ini melekat erat pada dasarnya, sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada perkembangan penyakit ini bila infeksinya berjalan terus, kelenjar limfe leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai leher sapi (bull neck) atau disebut juga Burgemeesters hals.   Gejala akibat eksotoksin yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan menimbulkan  kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis samapi decompensasio cordis, mengenai saraf kranial menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernafasan dan pada ginjal menimbulkan albuminoria.
Diagnosa tonsillitis difteri ditegakakan berdasarkan gambaran klinik dan pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan  bawah membrane semu dan didapatkan kuman Corynebacterium diphteriae.  Meskipun dengan perawatan semua gejala klinis telah hilang, tetapi kuman difteri masih dapat tinggal dalam tonsil (dan faring) bahkan kadang-kadang didapat karier difteri yang tidak pernah mengalami gejala penyakitnya.  Pada karier yang ditemukan sebaiknya diterapi secepatnya, disusul tindakan tonsilektomi maupun adenoidektomi.

3.3.2.  Tonsilitis Septik
            Penyebab dari tonsillitis septik adalah streptokokus hemolitikus yang terdapat dalam susu sapi sehingga dpat timbul epidemi. Oleh karena di Indonesia susu sapi dimasak dulu dengan cara pasturisasi sebelum diminum maka penyakit ini jarang ditemukan.
3.3.3.      Vincent’s Angina
Disebabkan oleh basilus fusiforme, penyakit ini sering terjadi pada orang-orang dengan higine mulut yang buruk.  Pada tonsil terbentuk bercak-bercak pseudomembran nekrotik yang berwarna putih keabuan dikelilingi areola yang hiperemis dapat menutup salah satu tonsil ataupun keduanya.  Lesi dapat menyebar ke palatum molle, faring dan rongga mulut.  Lesi yang terjadi disebabkan oleh bakteri yang terdapat pada membran mukosa yang menyebabkan nekrosis membran mukosa tersebut.  Dapat juga terbentuk pseudomembran pada laring dan trakehea yang bila dilepas akan bedarah.  Infeksi dapat disertai pembesaran kelenjar getah bening submaksilar atau servikalis.



3.3.4.      Penyakit Kelainan Darah
            Tidak jarang tanda pertama leukemia akut, angina agranulositosis dan infeksi mononucleosis timbul di faring atau tonsil yang tertutup membran semu. Kadang-kadang terdapat perdarahan selaput lendir mulut dan faring serta pembesaran kelenjar submandibula.
Leukemia akut
Gejala pertama berupa epistaksis, perdarahan di mukosa mulut, gusi dan dibawah kulit sehingga kulit tampak bercak kebiruan. Tonsil membengkak di tepi membran semu tetapi tidak hiperemis dan rasa nyeri hebat di tenggorok.
Angina Agranulositosis
Penyebabnya ialah akibat keracunan obat dari golongan amidopirin, sulfa dan arsen. Pada pemeriksaan tampak ulkus di mukosa mulut dan faring serta disekitar ulkus tampak gejala radang. Ulkus ini juga dapat ditemukan di genitalia dan saluran cerna.
Infeksi Mononukleosis
Pada penyakit ini terjadi tonsilofaringitis ulseromembranosa bilateral. Membran semu yang menutupi ulkus mudah diangkat tanpa timbul perdarahan.  Terdapat pebesaran kelenjar limfa leher, ketiak dan region inguinal. Gambaran darah khas yaitu terdapat leukosit, mononucleosis dalam jumlah besar. Tanda khas yang lain adalah kesanggupan serum pasien untuk beraglutinasi terhadap sel darah merah domba ( reaksi Paul Bunner).





4. TONSILEKTOMI
Tonsila yang sehat dapat membantu proses imunitas tubuh. Akan tetapi, pada tonsila yang patologis akan berkurang fungsinya dalam proses imunitas. Tonsila yang patologis berkaitan dengan berkurangnya transpor antigen, produksi antibody, serta infeksi kronis bakterial.
Tonsilektomi dilakukan jika terjadi infeksi yang berulang atau kronik, gejala sumbatan serta curiga adanya keganasan.
Indikasi tonsilektomi secara umum:
1.      Sumbatan
·         hyperplasia tonsil dengan sumbatan jalan nafas
·         sleep apnea
·         gangguan menalan
·         gangguan bicara
2.      Infeksi
·         infeksi telinga tengah berulang
·         rhinitis dan sinusitis yang kronis
·         peritonsiler abses
·         abses kelenjar limfe leher berulang
·         tonsilitis kronis dengan nafas bau
·         tonsil sebagai fokal infeksi dari organ lain
·         tonsilitis kronis dengan gejala nyeri tenggorok berulang
3. Kecurigaan adanya tumor jinak atau ganas

The American Academy of Otolaryngology–Head and Neck Surgery (AAO-HNS) menjabarkan indikasi-indikasi klinis untuk prosedur tonsilektomi sebagai berikut :
  • Indikasi Absolut
1.      Pembesaran  tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran pernafasan bagian atas, disfagia berat, gangguan tidur, atau komplikasi kardiopulmonal.
2.      Abses peritonsilar yang tidak responsif terhadap medikamentosa dan prosedur drainase, kecuali prosedur dilakukan saat fase akut.
3.      Tonslitis yang menyebabkan kejang demam.
4.      Tonsil yang harus dibiopsi untuk melihat patologi jaringannya.

  • Indikasi Relatif
1.      3 atau lebih episode infeksi dalam 1 tahun walaupun dengan terapi yang adekuat.
2.      Nafas berbau atau rasa tidak enak pada mulut yang persisten akibat tonsilitis kronis yang tidak responsif terhadap terapi.
3.      Tonsilitis kronis atau rekuren pada karier streptococus yang tidak responsif terhadap terapi.
4.      Hipertrofi tonsil unilateral yang memiliki kemungkinan keganasan.

§  Kontraindikasi Tonsilektomi
1.      Infeksi pernafasan bagian atas yang berulang
2.      Infeksi sistemik atau kronis
3.      Demam yang tidak diketahui penyebabnya
4.      Pembesaran tonsil tanpa gejala-gejala obstruksi
5.      Rhinitis alergika
6.      Asma
7.      Diskrasia darah
8.      Ketidakmampuan yang umum atau kegagalan untuk tumbuh
9.      Tonus otot yang lemah
10.  Sinusititis



DAFTAR PUSTAKA
1.      MOORE
2.      BUKU UI
3.      BOEIS