08/03/12

tonsilitis refrat


ANATOMI TONSIL
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh j aringan ikat dengan kriptus didalamnya. Terdapat tiga macam tonsil, yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina dan tonsil lingual.


Tonsila Faringeal
Adenoid atau bursa faringeal/faringeal tonsil merupakan massa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen dengan selah atau kantung diantaranya.Adenoid bertindak sebagai kelenjar limfe yang terletak di perifer, yang duktus eferennya menuju kelenjar limfe leher yang terdekat. Dilapisi epitel selapis semu bersilia yang merupakan kelanjutan epitel pernafasan dari dalam hidung dan mukosa sekitar nasofaring.  Adenoid mendapat suplai darah dari A. Karotis Interna dan sebagian kecil cabang palatina A. Maksilaris. Darah vena dialirkan sepanjang pleksus faringeus ke dalam Vena Jugularis Interna. Aliran limfe melalui kelenjar interfaringeal yang kemudian masuk ke dalam kelenjar Jugularis.  Persarafan sensoris melalui N. Nasofaringeal, cabang N IX serta N. Vagus.


Tonsila Lingualis
Tonsila Lingualis merupakan kumpulan jaringan limfoid yang tidak berkapsul dan terdapat pada basis lidah diantara kedua tonsil palatina, dan meluas ke arah anteroposterior dari papila sirkumvalata ke epiglotis.  Pada permukaannya terdapat kripta yang dangkal dengan jumlah yang sedikit. Sel-sel limfoid ini sering mengalami degenerasi disertai deskuamasi sel-sel epitel dan bakteri, yang akhirnya membentuk detritus. Tonsila lingualis mendapat perdarahan dari A. Lingualis yang merupakan cabang dari A. Karotis Eksterna. Darah vena dialirkan sepanjang V. Lingualis ke Vena Jugularis Interna. Aliran limfe menuju ke kelenjar servikalis profunda. Persarafannya melalui cabang lingual N. IX.

Tonsila Palatina
Tonsila palatine yang lebih dikenal sebagai tonsil dalam pengertian sehari-hari terletak dalam fossa tonsilaris, berbentuk oval dengan berat sekitar 1,5 gram. Fossa tonsilaris, di bagian depan dibatasi oleh pilar anterior (arkus palatina anterior), sedangkan di bagian belakang dibatasi oleh pilar posterior (arkus palatina posterior), yang kemudian bersatu di pole atas dan selanjutnya bersama-sama dengan m. Palatina membentuk palatum molle.
            Permukaan lateral tonsil dilapisi oleh kapsula fibrosa yang kuat dan berhubungan dengan fascia faringobasilaris yang melapisi m.Konstriktor Faringeus. Kapsul tonsil tersebut masuk ke dalam jaringan tonsil , membentuk septa yang mengandung pembuluh darah dan saraf tonsil.
Permukaan tonsil merupakan permukaan bebas dan mempunyai lekukan yang merupakan muara kripta tonsil. Kripta tonsil berjumlah sekitar 10-20 buah, berbentuk celah kecil yang dilapisi oleh epitel berlapis gepeng. Kripta yang paling besar terletak di pole atas, sering menjadi tempat pertumbuhan kuman karena kelembaban dan suhunya sesuai untuk pertumbuhan kuman, dan juga karena tersedianya substansi makanan di daerah tersebut.
            Kutub bawah tonsil melekat pada lipatan mukosa yang disebut  plika triangularis dimana pada bagian bawahnya terdapat folikel yang kadang membesar. Plika ini penting karena sikatriks yang terbentuk setelah proses tonsilektomi dapat menarik folikel tersebut ke dalam fossa tonsilaris, sehingga dapat dikelirukan sebagai sisa tonsil.
            Pole atas tonsil terletak pada cekungan yang berbentuk bulan sabit, disebut sebagai plika semilunaris. Pada plika ini terdapat massa kecil lunak, letaknya dekat dengan ruang supratonsil dan disebut ‘glandula salivaris mukosa dari Weber, yang penting peranannya dalam pembentukan abses peritonsil. Pada saat tonsilektomi, jaringan areolar yang lunak, antara tonsil dangan fossa tonsilaris mudah dipisahkan.
            Di sekitar tonsil terdapat tiga ruang potensial yang secara klinik sering menjadi tempat penyebaran infeksi dari tonsil, yaitu :
§  Ruang peritonsil (ruang supratonsil)
Berbentuk hampir segitiga dengan batas-batas :
o   Anterior                             : M. Palatoglossus
o   Lateral dan Posterior         : M. Palatofaringeus
o   Dasar segitiga                    : Pole atas tonsil
Dalam ruang ini terdapat kelenjar salivari Weber, yang bila terinfeksi dapat menyebar ke ruang peritonsil, menjadi abses peritonial.
§  Ruang retromolar
Terdapat tepat di belakang gigi molar tiga berbentuk oval, merupakan sudut yang dibentuk oleh ramus dan korpus mandibula. Di sebelah medial terdapat m. Buccinator, sementara pada bagian posteromedialnya terdapat m. Pterigoideus Internus dan bagian atas terdapat fasikulus longus m.temporalis. bila terjadi abses hebat pada daerah ini akan menimbulkan gejala utama trismus disertai sakit yang amat sangat, sehingga sulit dibedakan dengan abses peritonsilar.
§  Ruang parafaring (ruang faringomaksilar ; ruang pterigomandibula)
Merupakan ruang yang lebih besar dan luas serta banyak terdapat pembuluh darah besar, sehingga bila terjadi abses berbahaya sekali. Adapun batas-batas ruang ini adalah :
o   Superior     : basis cranii dekat foramen jugulare
o   Inferior      : os hyoid
o   Medial       : m. Konstriktor faringeus superior

o   Lateral       : ramus asendens mandibula, tempat m.Pterigoideus Interna dan        
   bagian posterior kelenjar parotis
o   Posterior    : otot-otot prevertebra.
Ruang parafaring ini terbagi 2 (tidak sama besar) oleh prosessus styloideus dan otot-otot yang melekat pada prosessus styloideus tersebut.
o   Ruang pre-styloid, lebih besar, abses dapat timbul oleh karena : radang tonsil, mastoiditis, parotitis, karies gigi atau tindakan operatif.
o   Ruang post-styloid, lebih kecil, di dalamnya terdapat : A. Karotis Interna, V. Jugularis, N. Vagus dan saraf-saraf simpatis.

Tonsil diperdarahi oleh beberapa cabang pembuluh darah, yaitu :
o   A.Palatina Asendens, cabang  A. Fasialis memperdarahi bagian postero inferior
o   A.Tonsilaris, cabang A.Fasialis memperdarahi daerah antero inferior
o   A.Lingualis Dorsalis, cabang A.Maksilaris Interna memperdarahi daerah antero media
o   A.Faringeal Asendens, cabang A.Karotis Eksterna memperdarahi daerah postero superior
o   A.Palatina Desendens dan cabangnya, A.Palatina Mayor dan Minor memperdarahi daerah antero superior.
Darah vena dialirkan melalui pleksus venosus perikapsular ke V. Lingualis dan pleksus venosus faringeal, yang kemudian bermuara ke V. Jugularis Interna. Pembuluh vena tonsil berjalan dari palatum, menyilang bagian lateral kapsula dan selanjutnya menembus dinding faring.


            Tonsil tidak mempunyai sistem limfatik aferen. Aliran limfe dari parenkim tonsil ditampung pada ujung pembuluh limfe eferen yang terletak pada trabekula, yang kemudian membentuk pleksus pada permukaan luar tonsil dan berjalan menembus m. Konstriktor Faringeus Superior, selanjutnya menembus fascia bucofaringeus dan akhirnya menuju kelenjar servikalis profunda yang terletak sepanjang pembuluh darah besar leher, di belakang dan di bawah arkus mandibula. Kemudian aliran limfe dilanjutkan ke nodulus limfatikus daerah dada untuk selanjutnya bermuara ke dalam duktus torasikus.
Inervasi tonsil terutama melalui N. Palatina Mayor dan Minor (cabang N V) dan N. Lingualis (cabang N IX). Nyeri pada tonsilitis sering menjalar ke telinga, hal ini terjadi karena N IX juga mempersarafi membran timpani dan mukosa telinga tengah melalui “Jacobson’s Nerve”. 

2. FISIOLOGI TONSIL
            Tonsil mempunyai peranan penting dalam fase-fase awal kehidupan, terhadap infeksi mukosa nasofaring dari udara pernafasan sebelum masuk ke dalam saluran nafas bagian bawah. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa parenkim tonsil mampu menghasilkan antibodi. Tonsil memegang peranan dalam menghasilkan Ig-A, yang menyebabkan jaringan lokal resisten terhadap organisme patogen.
            Sewaktu baru lahir, tonsil secara histologis tidak mempunyai centrum germinativum, biasanya ukurannya kecil. Setelah antibodi dari ibu habis, barulah mulai terjadi pembesaran tonsil dan adenoid, yang pada permulaan kehidupan masa anak-anak dianggap normal dan dapat dipakai sebagai indeks aktifitas sistem imun. Pada waktu pubertas atau sbelum masa pubertas, terjadi kemunduran fungsi tonsil yang disertai proses involusi.
Terdapat dua mekanisme pertahanan , yaitu spesifik dan non spesifik.

Mekanisme Pertahanan Non-Spesifik
Mekanisme pertahanan spesifik berupa lapisan mukosa tonsil dan kemampuan limfoid untuk menghancurkan mikroorganisme. Pada beberapa tempat lapisan mukosa ini sangat tipis, sehingga menjadi tempat yang lemah dalam pertahanan dari masuknya kuman ke dalam jaringan tonsil. Jika kuman dapat masuk ke dalam lapisan mukosa, maka kuman ini dapat ditangkap oleh sel fagosit. Sebelumnya kuman akan mengalami opsonisasi sehingga menimbulkan kepekaan bakteri terhadap fagosit.
            Setelah terjadi proses opsonisasi maka sel fagosit akan bergerak mengelilingi bakteri dan memakannya dengan cara memasukkannya dalam suatu kantong yang disebut fagosom. Proses selanjutnya adalah digesti dan mematikan bakteri. Mekanismenya belum diketahui pasti, tetapi diduga terjadi peningkatan konsumsi oksigen yang diperlukan untuk pembentukan superoksidase yang akan membentuk H2O2, yang bersifat bakterisidal.  H2O2 yang terbentuk akan masuk ke dalam fagosom atau berdifusi di sekitarnya, kemudian membunuh bakteri dengan proses oksidasi.
            Di dalam sel fagosit terdapat granula lisosom. Bila fagosit kontak dengan bakteri maka membran lisosom akan mengalami ruptur dan enzim hidrolitiknya mengalir dalam fagosom membentuk rongga digestif, yang selanjutnya akan menghancurkan bakteri dengan proses digestif.



Mekanisme Pertahanan Spesifik
Merupakan mekanisme pertahanan yang terpenting dalam pertahanan tubuh terhadap udara pernafasan sebelum masuk ke dalam saluran nafas bawah. Tonsil dapat memproduksi Ig-A yang akan menyebabkan resistensi jaringan lokal terhadap organisme patogen. Disamping itu tonsil dan adenoid juga dapat menghasilkan Ig-E yang berfungsi untuk mengikat sel basofil dan sel mastosit, dimana sel-sel tersebut mengandung granula yang berisi mediator vasoaktif, yaitu histamin.
            Bila ada alergen maka alergen itu akan bereaksi dengan Ig-E, sehingga permukaan sel membrannya akan terangsang dan terjadilah proses degranulasi. Proses ini menyebabkan keluarnya histamin, sehingga timbul reaksi hipersensitifitas tipe I, yaitu atopi, anafilaksis, urtikaria, dan angioedema.
            Dengan teknik immunoperoksidase, dapat diketahui bahwa Ig-E dihasilkan dari plasma sel, terutama dari epitel yang menutupi permukaan tonsil, adenoid, dan kripta tonsil.
            Mekanisme kerja Ig-A adalah mencegah substansi masuk ke dalam proses immunologi, sehingga dalam proses netralisasi dari infeksi virus, Ig-A mencegah terjadinya penyakit autoimun. Oleh karena itu Ig-A merupakan barier untuk mencegah reaksi imunologi serta untuk menghambat proses bakteriolisis.

3. TONSILITIS
Tonsilitis adalah  peradangan umum dan pembengkakan dari jaringan  tonsila yang biasanya disertai dengan pengumpulan leukosit, sel-sel epitel mati, dan bakteri pathogen dalam kripta.

3.1. Tonsilitis Akut                           
3.1.1. Etiologi
            Tonsilitis bakterial supurativa akut paling sering disebabkan oleh Grup A Streptococcus beta hemolitikus. Meskipun pneumokokus, stafilokokus dan Haemophilus influenzae juga virus patogen dapat dilibatkan. Kadang-kadang streptokokus non hemolitikus atau streptokokus viridans, ditemukan pada biakan, biasanya pada kasus-kasus berat.
3.1.2.  Patofisiologi
            Infeksi bakteri pada lapisan  epitel jaringan  tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya lekosit polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Detritus ini merupakan kumpulan lekosit, bakteri yang mati, dan epitel yang terlepas. Secara klinis detritus ini mengisi kripta tonsil dan tampak sebagai bercak kuning.  Perbedaan strain atau virulensi dari penyebab tonsilitis  dapat menimbulkan variasi dalam fase patologi sebagai berikut:
  1. Peradangan biasa pada area tonsil saja
  2. Pembentukan eksudat
  3. Selulitis pada tonsil dan daerah sekitarnya
  4. Pembentukan abses peritonsilar
  5. Nekrosis jaringan
            Bentuk tonsillitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsillitis folikularis, bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur alur maka akan terjadi tonsillitis lakunaris. Bercak detritus ini dapat melebar sehingga terbentuk membrane semu (pseudomembran) yang menutupi tonsil.

3.1.3.  Gejala dan Tanda
            Gejala dan  tanda yang sering ditemukan adalah nyeri tenggorokan, nyeri waktu menelan dan pada kasus berat penderita menolak makan dan minum melalui mulut.  Biasanya disertai demam dengan suhu tubuh yang tinggi, rasa nyeri pada sendi-sendi, tidak nafsu makan dan nyeri pada telinga. Rasa nyeri di telinga ini karena nyeri alih melalui n Glosofaringeus. Seringkali disertai adenopati servikalis disertai nyeri tekan.  Pada pemeriksaan tampak tonsil membengkak, hiperemis dan terdapat detritus berbentuk folikel, lakuna, atau tertutup oleh membrane semu. Kelenjar submandibula membengkak dan nyeri tekan. 

3.1.4.  Pengelolaan
Pada umumnya penderita dengan tonsillitis akut serta demam sebaiknya tirah baring, pemberian cairan adekuat serta diet ringan.  Analgetik oral efektif untuk mengurangi nyeri.  Terapi antibiotik dikaitkan dengan biakan dan sensitivitas yang tepat.  Penisilin masih merupakan obat pilihan, kecuali jika terdapat resistensi atau penderita sensitive terhadap penisilin.  Pada kasus tersebut eritromisin atau antibiotik spesifik yang efektif melawan organisme sebaiknya digunakan. Pengobatan sebaiknya diberikan selama lima sampai sepuluh hari. Jika  hasil biakan didapatkan streptokokus beta hemolitikus terapi yang adekuat dipertahankan selama sepuluh hari untuk menurunkan kemungkinan komplikasi non supurativa seperti nefritis dan jantung rematik.   
Efektivitas obat kumur masih dipertanyakan, terutama apakah cairan dapat berkontak dengan dinding faring, karena dalam beberapa hal cairan ini tidak mengenai lebih dari tonsila palatina.  Akan tetapi pengalaman klinis menunjukkan bahwa dengan berkumur yang dilakukan secara rutin menambah rasa nyaman pada penderita dan mungkin mempengaruhi beberapa tingkat perjalanan penyakit. 
3.2. Tonsilitis Kronis
Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi dari semua penyakit tenggorokan yang berulang.  Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronik adalah rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisk dan pengobatan tonslitis akut yang tidak adekuat. Radang pada tonsil dapat disebabkan kuman Grup A Streptococcus beta hemolitikus, Pneumococcus, Streptococcus viridans dan Streptococcus piogenes. Gambaran klinis bervariasi dan diagnosa sebagian besar tergantung pada infeksi.


3.2.1  Gambaran Klinis
Gejala dan tanda yang sering ditemukan adalah nyeri tenggorok, rasa mengganjal pada tenggorokan, tenggorokan terasa kering, nyeri pada waktu menelan, bau mulut , demam dengan suhu tubuh yang tinggi, rasa lesu, rasa nyeri di sendi-sendi, tidak nafsu makan dan rasa nyeri di telinga (otalgia). Rasa nyeri di telinga ini dikarenakan nyeri alih (referred pain) melalui n. Glossopharingeus (n.IX).
Gambaran klinis pada tonsilitis kronis bervariasi, dan diagnosis pada umunya bergantung pada inspeksi.  Pada umumnya terdapat dua gambaran yang termasuk dalam kategori tonsilitis kronis, yaitu:
  1. Tonsilitis kronis hipertrofikans,
yaitu ditandai pembesaran tonsil dengan hipertrofi dan pembentukan jaringan parut.  Kripta mengalami stenosis,  dapat disertai dengan eksudat, seringnya purulen keluar dari kripta tersebut.
  1. Tonsilitis kronis atrofikans,
Yaitu ditandai dengan tonsil yang kecil (atrofi), di sekelilingnya hiperemis dan pada kriptanya dapat keluar sejumlah kecil sekret purulen yang tipis.
Dari hasil biakan tonsil, pada tonsilitis kronis didapatkan bakteri dengan virulensi rendah dan jarang ditemukan Streptococcus beta hemolitikus.
 
3.2.2.  Pengelolaan
            Antibotika spektrum luas, antipiretik dan obat kumur yang mengandung desinfektan. Pada keadaan dimana tonsilitis sangat sering timbul dan pasien merasa sangat terganggu, maka terapi pilihan adalah pengangkatan tonsil (tonsilektomi).

3.2.3.  Komplikasi
            Radang kronis tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya berupa Rhinitis kronis, Sinusitis atau Otitis media secara perkontinuitatum. Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau limfogen dan dapat timbul endokarditis, arthritis, miositis, nefritis, uveitis, irdosiklitis, dermatitis, pruritus, urtikaria dan furunkulosis.

3.3. TONSILITIS MEMBRANOSA
3.3.1.  Tonsilofaringitis Difterika
Frekuensi penyakit ini sudah menurun berkat keberhasilan imunisasi pada bayi dan anak. Penyebab tonsillitis difteri adalah Corynebacterium diphteriae, kuman yang termasuk gram positif dan hidup di saluran nafas bagian atas yaitu hidung faring dan laring.
Tonsillitis difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupun pada orang dewasa masih mungkin menderita penyakit ini.
Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu gejala umum, gejala lokal, dan gejala akibat eksotoksin.
Gejala umum seperti juga gejala infeksi lainnya: kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat, serta keluhan nyeri menelan. Gejala lokal yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk membran semu (pseudomembran).  Membran ini dapat meluas ke palatum mole, uvula, nasofaring,laring, trakea, dan bronkus yang dat menyumbat saluran nafas. Membran semu ini melekat erat pada dasarnya, sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada perkembangan penyakit ini bila infeksinya berjalan terus, kelenjar limfe leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai leher sapi (bull neck) atau disebut juga Burgemeesters hals.   Gejala akibat eksotoksin yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan menimbulkan  kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis samapi decompensasio cordis, mengenai saraf kranial menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernafasan dan pada ginjal menimbulkan albuminoria.
Diagnosa tonsillitis difteri ditegakakan berdasarkan gambaran klinik dan pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan  bawah membrane semu dan didapatkan kuman Corynebacterium diphteriae.  Meskipun dengan perawatan semua gejala klinis telah hilang, tetapi kuman difteri masih dapat tinggal dalam tonsil (dan faring) bahkan kadang-kadang didapat karier difteri yang tidak pernah mengalami gejala penyakitnya.  Pada karier yang ditemukan sebaiknya diterapi secepatnya, disusul tindakan tonsilektomi maupun adenoidektomi.

3.3.2.  Tonsilitis Septik
            Penyebab dari tonsillitis septik adalah streptokokus hemolitikus yang terdapat dalam susu sapi sehingga dpat timbul epidemi. Oleh karena di Indonesia susu sapi dimasak dulu dengan cara pasturisasi sebelum diminum maka penyakit ini jarang ditemukan.
3.3.3.      Vincent’s Angina
Disebabkan oleh basilus fusiforme, penyakit ini sering terjadi pada orang-orang dengan higine mulut yang buruk.  Pada tonsil terbentuk bercak-bercak pseudomembran nekrotik yang berwarna putih keabuan dikelilingi areola yang hiperemis dapat menutup salah satu tonsil ataupun keduanya.  Lesi dapat menyebar ke palatum molle, faring dan rongga mulut.  Lesi yang terjadi disebabkan oleh bakteri yang terdapat pada membran mukosa yang menyebabkan nekrosis membran mukosa tersebut.  Dapat juga terbentuk pseudomembran pada laring dan trakehea yang bila dilepas akan bedarah.  Infeksi dapat disertai pembesaran kelenjar getah bening submaksilar atau servikalis.



3.3.4.      Penyakit Kelainan Darah
            Tidak jarang tanda pertama leukemia akut, angina agranulositosis dan infeksi mononucleosis timbul di faring atau tonsil yang tertutup membran semu. Kadang-kadang terdapat perdarahan selaput lendir mulut dan faring serta pembesaran kelenjar submandibula.
Leukemia akut
Gejala pertama berupa epistaksis, perdarahan di mukosa mulut, gusi dan dibawah kulit sehingga kulit tampak bercak kebiruan. Tonsil membengkak di tepi membran semu tetapi tidak hiperemis dan rasa nyeri hebat di tenggorok.
Angina Agranulositosis
Penyebabnya ialah akibat keracunan obat dari golongan amidopirin, sulfa dan arsen. Pada pemeriksaan tampak ulkus di mukosa mulut dan faring serta disekitar ulkus tampak gejala radang. Ulkus ini juga dapat ditemukan di genitalia dan saluran cerna.
Infeksi Mononukleosis
Pada penyakit ini terjadi tonsilofaringitis ulseromembranosa bilateral. Membran semu yang menutupi ulkus mudah diangkat tanpa timbul perdarahan.  Terdapat pebesaran kelenjar limfa leher, ketiak dan region inguinal. Gambaran darah khas yaitu terdapat leukosit, mononucleosis dalam jumlah besar. Tanda khas yang lain adalah kesanggupan serum pasien untuk beraglutinasi terhadap sel darah merah domba ( reaksi Paul Bunner).





4. TONSILEKTOMI
Tonsila yang sehat dapat membantu proses imunitas tubuh. Akan tetapi, pada tonsila yang patologis akan berkurang fungsinya dalam proses imunitas. Tonsila yang patologis berkaitan dengan berkurangnya transpor antigen, produksi antibody, serta infeksi kronis bakterial.
Tonsilektomi dilakukan jika terjadi infeksi yang berulang atau kronik, gejala sumbatan serta curiga adanya keganasan.
Indikasi tonsilektomi secara umum:
1.      Sumbatan
·         hyperplasia tonsil dengan sumbatan jalan nafas
·         sleep apnea
·         gangguan menalan
·         gangguan bicara
2.      Infeksi
·         infeksi telinga tengah berulang
·         rhinitis dan sinusitis yang kronis
·         peritonsiler abses
·         abses kelenjar limfe leher berulang
·         tonsilitis kronis dengan nafas bau
·         tonsil sebagai fokal infeksi dari organ lain
·         tonsilitis kronis dengan gejala nyeri tenggorok berulang
3. Kecurigaan adanya tumor jinak atau ganas

The American Academy of Otolaryngology–Head and Neck Surgery (AAO-HNS) menjabarkan indikasi-indikasi klinis untuk prosedur tonsilektomi sebagai berikut :
  • Indikasi Absolut
1.      Pembesaran  tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran pernafasan bagian atas, disfagia berat, gangguan tidur, atau komplikasi kardiopulmonal.
2.      Abses peritonsilar yang tidak responsif terhadap medikamentosa dan prosedur drainase, kecuali prosedur dilakukan saat fase akut.
3.      Tonslitis yang menyebabkan kejang demam.
4.      Tonsil yang harus dibiopsi untuk melihat patologi jaringannya.

  • Indikasi Relatif
1.      3 atau lebih episode infeksi dalam 1 tahun walaupun dengan terapi yang adekuat.
2.      Nafas berbau atau rasa tidak enak pada mulut yang persisten akibat tonsilitis kronis yang tidak responsif terhadap terapi.
3.      Tonsilitis kronis atau rekuren pada karier streptococus yang tidak responsif terhadap terapi.
4.      Hipertrofi tonsil unilateral yang memiliki kemungkinan keganasan.

§  Kontraindikasi Tonsilektomi
1.      Infeksi pernafasan bagian atas yang berulang
2.      Infeksi sistemik atau kronis
3.      Demam yang tidak diketahui penyebabnya
4.      Pembesaran tonsil tanpa gejala-gejala obstruksi
5.      Rhinitis alergika
6.      Asma
7.      Diskrasia darah
8.      Ketidakmampuan yang umum atau kegagalan untuk tumbuh
9.      Tonus otot yang lemah
10.  Sinusititis



DAFTAR PUSTAKA
1.      MOORE
2.      BUKU UI
3.      BOEIS

Tidak ada komentar: