30/01/14

cairan dan elektrolit

GANGGUAN KESEIMBANGAN

CAIRAN DAN ELEKTROLIT

1.    FISIOLOGIS

Secara fisiologis dan klinis, metabolisme air dan natrium berhubungan erat. Kandungan natrium tubuh tergantung pada keseimbangan antara asupan (intake) dari makanan dan ekskresi dari ginjal. Pada keadaan sehat kehilangan natrium melalui ginjal dapat diabaikan.  Jumlah air di dalam tubuh pada wanita kira-kira 50 % dari berat badan, sedangkan pada pria 60 %. Air didistribusikan dalam dua ruangan utama yaitu 55-75 % di dalam intrasel dan 25-45 % di ekstrasel. Cairan di ekstrasel ini dibagi lagi menjadi intravaskular (plasma) dan ekstravaskular (interstitial) dengan perbandingan 1 dan 3. Konsentrasi zat terlarut (solut) atau partikel di dalam cairan yang dinamakan osmolalitas dinyatakan dalam satuan mOsmol/kg H2O. Karena sebagian besar membran sel permeabel bebas terhadap air, maka keseimbangan osmotik antara cairan intraseluler dan ekstraseluler secara ketat dipertahankan dengan perpindahan cairan yang sesuai antara ruangan-ruangan ini. Air bergerak melewati membran sel untuk mencapai suatu keseimbangan osmotic ( osmolalitas cairan ekstrasel = intrasel ). Partikel utama di ekstrasel adalah Na+, Cl- dan HCO3-, sedangkan di intrasel adalah K+ dan berbagai organic phosphat. Oleh karena Na+ sebagian besar berada di ekstrasel, maka kadarnya merefleksikan volume ekstrasel demikian pula halnya untuk K+ yang ada di intrasel. Jumlah partikel di dalam intrasel relatif konstan, oleh karenanya perubahan osmolalitas di intrasel umumnya disebabkan oleh perubahan jumlah air. Akan tetapi pada kondisi tertentu ada mekanisme yang disebut adaptasi osmotic sehingga akan mencegah perubahan air yang berlebihan , misalnya pada keadaan kronik hiponatremia dan hipernatremia.
Pergerakan air antar ruang intravaskular dan interstitial melalui dinding kapiler dan ditentukan oleh hukum Starling,  tekanan hidrostatik kapiler dan tekanan osmotic koloid. Kembalinya cairan ke dalam ruang intravaskular melalui aliran limfa.
Ekskresi Kalium diatur oleh nefron distal. Peningkatan ekskresi disebabkan oleh peningkatan penghantaran Natrium ke distal, peningkatan kecepatan aliran urine, alkalosis metabolik, peningkatan aldosteron  dan peningkatan elektronegativitas lumen.                                                                                                                             

1.1  KESEIMBANGAN AIR
Osmolalitas plasma normal adalah 275 sampai 290 mosmol/kg, dengan perubahan kepekatan (tonisitas) 1 sampai 2 persen. Untuk menjaga homeostasis  perlu keseimbangan antara asupan (intake) air dengan keluaran (output) air. Keseimbangan ini tergantung pada (a) pemasukan air dan mekanisme haus yang sempurna, (b) kehilangan air melalui ekstrarenal, (c) ekskresi yang sesuai dari larutan dan air melalui ginjal, dan (d) biosintesis, respon dan pengeluaran ADH. Gangguan pada keseimbangan cairan akan menyebabkan hipo atau hipernatremia. Pengeluaran air yang normal melalui urine, feses dan evaporasi melalui kulit serta paru-paru.

 

Asupan (Intake) Air

Rasa haus merupakan stimulus primer terjadinya asupan air melalui peningkatan osmolalitas atau penurunan volume cairan ekstrasel atau penurunan tekanan darah. Batas ambang rata-rata untuk timbulnya rasa haus adalah 295 mosmol/kg.

Keluaran (Output) Air

Faktor yang menentukan ekskresi air di ginjal adalah arginine vasopresin (AVP; bentuk antidiuretik hormon), yang menyebabkan resorbsi air secara pasif oleh karena gradien osmotic dari lumen ductus collecting ke interstitium medulla ginjal yang hipertonik. Stimulus mayor sekresi AVP adalah hipertonisitas yang ditentukan oleh konsentrasi natrium plasma.
Faktor non osmotic yang mempengaruhi sekresi AVP adalah volume sirkulasi efektif (arterial) melalui baroresptor di sinus karotis. Tetapi pada kenyataannya penurunan tekanan darah mempunyai efek yang lebih besar dalam merangsang baroresptor.
Untuk menjaga keseimbangan cairan dan konsentrasi Natrium plasma, jumlah solute yang masuk harus seimbang dengan yang keluar. Ada 3 langkah yang diperlukan ginjal untuk mengeluarkan cairan, yaitu : (1) filtrasi, (2) resorbsi aktif Natrium dan Chlorida tanpa air di loop of Henle bagian ascending dan bagian distal nefron dan (3) impermaebilitas terhadap air di ductus collectivus.

1.2   KESIMBANGAN  NATRIUM

Natrium secara aktif dipompa keluar oleh Na+K+ATPase pump. Sangat penting untuk membedakan antara gangguan osmoregulasi dengan gangguan regulasi volume karena keseimbangan air dan natrium melalui mekanisme yang berbeda. Perubahan konsentrasi natrium merefleksikan adanya perubahan keseimbangan air dan volume ekstrasel.

2.    HIPOVOLEMIA
2.1  Etiologi
Hipovolemia pada umumnya mencerminkan keadaan hilangnya air dan garam melebihi intake yang masuk yang mengakibatkan kurangnya volume ekstrasel. Kehilangan natrium dapat terjadi oleh karena factor renal atau ekstrarenal.

2.1.1 Volume ekstrasel berkurang
      A. Kehilangan Natrium ekstrarenal
1. Gastrointestinal ( muntah, diare, NGT, drain )
2. Kulit/resptrasi ( insensible, keringat, luka bakar)
3. Perdarahan
      B. Kehilangan Natrium dan air renal
1. Diuretik
2. Diuresis Osmotik
3. Hipoaldosteronisme
4. Nefropati
      C. Kehilangan air renal
1. Diabetes Insipidus (central atau nephrogenik)
2.1.2  Volume ekstrasel normal atau meningkat
2.1.2.1   Jenis
      A. Cardiac Output menurun
1. Miokardium, Katup, Perikard
      B. Redistribusi
1. Hipoalbuminemia
2. Kebocoran kapiler
      C. Peningkatan kapasitas vena
1. Sepsis
2.1.2.2  Patofisiologi
Manifestasi dari pengurangan volume ekstrasel berupa penurunan volume plasma dan hipotensi. Hal ini akan merangsang baroresptor sehingga mengaktivasi system saraf simpatik dan system renin-angiotensin yang akan meningkatkan tekanan arteri rata-rata (mean arterial pressure), perfusi serebral dan koroner.
Sedangkan respon pada ginjal berupa penurunan GFR sehingga filtrasi Natrium berkurang dan peningkatan resorbsi Natrium. Respon ini disebabkan oleh peningkatan aldosteron dan sekresi AVP serta penekanan sekresi atrial natriuretic peptide.

2.1.2.3  Gambaran Klinis

Anamnesa yang teliti akan membantu menentukan etiologi (muntah, diare, poliuri, keringat). Sebagian besar merupakan gambaran gangguan keseimbangan elektrolit dan hipoperfusi jaringan seperti fatigue, lemah, kramp otot, haus, pusing. hipovolemi yang berat akan memberi gambaran iskemia organ berupa oliguria, sianosis, nyeri abdomen dan nyeri dada serta gangguan kesadaran. Turgor kulit dan membran mukosa mulut bukan pertanda yang baik adanya penurunan cairan interstitial. Tanda penurunan volume intravaskular meliputi penurunan JVP, hipotensi postural dan takikardia postural sering ditemukan. Kehilangan cairan yang berat akan menyebabkan shock hipovolemia dengan tanda berupa hipotensi, takikardi, vasokonstriksi perifer dan hipoperfusi (sianosis, ekstremitas dingin dan lembab, oliguria) serta perubahan status mental.

2.1.2.4  Diagnosis

Anamnesa dan pemeriksaan fisik pada umumnya cukup untuk menentukan etiologi hipovolemia. Data laboratorium digunakan untuk menunjang diagnosa klinis. Kadar blood urea nitrogen (BUN) dan kreatinin cendrung meningkat, menandakan turunnya GFR. Ratio BUN dengan  kreatinin umumnya lebih dari 20 : 1. Hal ini terjadi juga pada keadaan hiperalimentasi (tinggi protein), therapi glukokortikoid dan perdarahan gastrointestinal.
Kadar natrium bisa berkurang, normal atau berlebih tergantung tonisitas dari cairan yang hilang, adanya rasa haus dan akses atau tersedianya air. Hipokalemia sering terjadi oleh karena hilangnya kalium dari ginjal atau gastrointestinal.
Hiperkalemia timbul pada gagal ginjal, insufisiensi adrenal dan metabolic asidosis. Metabolik alkalosis terjadi pada penggunaan diuretic dan pada muntah-muntah atau suction nasogastrik. Hematokrit dan albumin plasma akan meningkat.
Respon akan adanya hipovolemia berupa peningkatan resorbsi natrium dan air yang akan merubah komposisi urine. Konsentrasi natrium umumnya kurang dari 20 mmol/L kecuali pada kasus akut tubular nekrosis (ATN). Hal ini terjadi pula apabila ada muntah yang berlebih dimana kadar Cl- akan rendah (<20 mmol/L). Osmolalitas urine dan berat jenis umumnya lebih dari 450 mosmol/kg dan 1.015 menandakan adanya peningkatan sekresi AVP. Namun pada diabetes insipidus osmolalitas dan berat jenis urine tidak meningkat.

2.1.2.5  Pengobatan

Tujuan terapi adalah memberikan cairan yang sama dengan cairan yang hilang dan menggantikan cairan  yang hilang melalui kehilangan yang sedang berlangsung. Gejala dan tanda termasuk berat badan dapat digunakan untuk memperkirakan beratnya hipovolemia. Hipovolemia yang ringan dapat dikoreksi melalui jalur oral, sedangkan yang berat memerlukan jalur intravena. Cairan isotonik atau nomal saline digunakan pada keadaan normonatremia atau hiponatremia ringan. Hipertonik saline digunakan pada hiponatremia berat. Hipernatremia memerlukan cairan setengah saline atau dextrose 5 %. Transfusi darah atau cairan koloid diperlukan pada kasus perdarahan. Kalium perlu ditambahkan karena biasanya disertai hipokalemia.


3.   HIPONATREMIA

Hiponatremia terjadi jika asupan air melebihi ekskresinya. Hiponatremia didefinisikan apabila konsentrasi natrium < 135 mmol/L. Gejala meliputi konfusion, letargi dan disorientasi, jika berat (< 120 mmol/L) dan tiba-tiba, kejang atau koma akan timbul. Hiponatremia sering terjadi secara iatrogenik dan selalu akibat dari kerja ADH yang abnormal. Kadar natrium itu sendiri tidak mencerminkan kadar total natrium di dalam tubuh, untuk itu pasien dengan hiponatremia dibagi menjadi 3 grup menurut status volumenya (hipovolemia, euvolemia/normovolemia dan hipervolemia hiponatremia ).

Reset osmostat
 
Kehilangan yang berasal dari ginjal
 
Gagal Ginjal
 
U Na > 20
 
Organization Chart

Kehilangan ekstra renal
 
SIADH
 
U Na < 10
 
U Osm < 100 10
 
CHF,
Sirosis,
Nefrotik



 
Polidipsia psikogenik
 
 



 

 

 

 



3.1  Hipovolemia Hiponatremi

Hiponatremia derajat ringan sampai sedang (125-135 mmol/L) dapat terjadi pada kehilangan cairan melalui gastrointestinal atau perdarahan oleh karena 2 alasan. Pertama, karena adanya aktivasi system renin-angiotensin-aldosteron axis, system saraf simpatik dan ADH yang akan meningkatkan resorbsi air dan zat terlarut di ginjal. Kedua, cairan yang biasanya digunakan di rumah biasanya bersifat hipotonik. Pengobatan yang tepat adalah mengganti cairan dengan cairan koloid atau kristaloid.


3.2  Hipervolemia Hiponatremia

Keadaan edema (Gagal jantung konngestif, sirosis hepatis dan nefrotic sindrom) sering menyebabkan hiponatremia ringan sampai sedang. Patofisiologinya sama seperti yang terjadi pada hipovolemia hanya saja penurunan perfusi di sini dikarenakan (1) penurunan cardiac output (2) arteriovenous shunt dan (3) hipoproteinemia berat. Pengobatannya berupa penanganan penyakit dasarnya, restriksi natrium, diuretic dan restriksi air.

3.3  Euvolemia Hiponatremia

Biasanya terjadi pada SIADH yang sering timbul pada penyakit di paru-paru (pneumonia, TBC, pleural effusion), penyakit di otak (tumor, perdarahan subaraknoid, meningitis), keganasan (small cell carcinoma paru) dan obat-obatan (chlorpropanide, carbamazepine, analgetik narkotik, siklophosphamid). Pengobatannya adalah restriksi air sampai < 1 L/hari tergantung dari beratnya keadaan.

3.4  Pengobatan

Koreksi natrium tidak boleh terlalu cepat (0,5 mmol/L per jam). Koreksi yang terlalu cepat akan menyebabkan myelinolisis pons cereberi terutama apabila hiponatremia telah berlangsung lama. Koreksi yang cepat hanya diberikan pada hiponatremia yang berat dan disertai adanya gejala neurologik (Na+ < 105 mmol/L dengan status epileptikus).

4.   HIPERNATREMIA

Kondisi ini jarang terjadi bersamaan dengan hipervolemia dan  biasanya akibat iatrogenik misalnya pemberian cairan natrium bikarbonat. Agaknya keadan ini disebabkan kehilangan air yang melebihi kehilangan natrium. Penyebab utamanya adalah diuresis osmotic akibat hiperglikemia, azotemia atau obat (radio kontrast, manitol, dll) atau diabetes insipidus sentral atau nefrogenik.
Koreksi cairan diberikan perlahan-lahan agar tidak terjadi gejala neurologik. Penderita sentral diabetes insipidus dapat diberikan desmopresin atau chlorpropamide. Penderita nefrogenik diabetes insipidus akibat lithium dapat diberikan amiloride atau hidroklorothiazide,  NSAIDs  dapat pula digunakan namun karena efek nefrotoksiknya jarang digunakan.

Koreksi Hipernatremia

Water Defisit
1. Total body water (TBW) : 50-60% BB (kg)
2.  Free water deficit             : ( Na – 140/140 ) x TBW
3.  Berikan dalam 48-72 jam

Ongoing Water Losses
4.Hitung free water klirens dari urinary flow rate(V) dan urine (U) Na dan K
    konsentrasi  V- Vx(Una+Uk)/140
Insensible Losses
5.~ 10ml/kg/hari
IKHTISAR GANGGUAN METABOLISME NATRIUM DAN AIR

I.  KEHILANGAN NATRIUM DAN AIR (Kehilangan volume)                    
            A.  Kehilangan Ekstrarenal 
                        1. Gastrointestinal (Muntah, diare, fistula)
                        2.  Sekuestrasi abdominal
                        3.  Kulit  (Keringat, Luka bakar)
            B.  Kehilangan Renal           
                        1.  Penyakit ginjal ( Fase diuresis ARF, Diuresis pasca obstruksi, CKD)
                        2.  Overdosis diuretika
                        3.  Diuresis osmotik
                        4.  Defisiensi mineralokortikoid (Penyakit Addison,
                             Hipoaldosteronisme)

II.  HIPONATREMIA                   
            A.  Dengan kehilangan volume ekstraseluler        
            B.   Dengan kelebihan volume ekstraseluler dan edema              
            C.  Dengan volume ekstraseluler normal atau meningkat sedang                      
                        1. ARF dan CKD     
                        2. Gangguan diuresis sementara (emosi, nyeri)   
                        3. SIADH      
                        4. Endokrin (Defisiensi glukokortikoid, hipotiroidisme)           
                        5. Polidipsia berat    
                        6. Esensial (sindroma sel sabit)       
            D.  Tanpa Hipoosmolalitas plasma                       
                        1. Osmotik  (hiperglikemia, manitol)        
                        2. Artefak  (hiperlipidemia, hiperproteinemia)    

III.  HIPERNATREMIA                           
            A. Terutama karaena kehilangan air                     
                        1. Ekstrarenal           
                                    a.  Kulit
                                    b.  Paru
                        2. Renal         
                                    Diabetes insipidus
                        3. Gangguan fungsi hipotalamus   
            B.  Akibat kehilangan air yang disertai kehilangan natrium                   
                        1. Ekstrarenal           
                                    Keringat
                        2. Renal         
                                    Diuresis osmotik (Glikosuria, urea)
            C.  Akibat memperoleh natrium                
                        1.  Pemberian natrium berlebihan  
                        2.  Hiperfungsi adrenal (hiperaldosteronisme, sindroma Cushing)       



5.   HIPOKALEMIA


Atrial dan ventricular aritmia sering timbul terutama apabila disertai dengan hipomagnesium dan penggunaan digoxin. Manifestasi klinis lainnya berupa kelemahan otot, ileus dan poliuria. Riwayat penyakit dan konsentrasi Kalium di dalam urine dapat membantu menentukan penyebab hipokalemia.
Penanganan hipokalemia berupa koreksi penyakit dasarnya, hentikan obat yang menyebabkan hipokalemia dan suplementasi kalium. Kalium dapat diberikan oral maupun intravena dengan kecepatan tidak melebihi 20 mmol/jam.


6.   HIPERKALEMIA

Pada kebanyakan kasus hiperkalemia diakibatkan oleh ekskresi kalium yang menurun. Apabila diagnosis belum pasti, hitung gradien Kalium transtubular (TTKG) dapat membantu. TTKG = UkPosm/PkUosm. TTKG < 10 menandakan ekskresi Kalium menurun oleh karena (1) hipoaldosteronism dan (2) resistensi renal terhadap efek mineralokortikoid.
Konsekuensi penting adalah terjadinya gangguan konduksi jantung yang dapat menyebabkan cardiac arrest. Hipocalcemia dan asidosis akan memperberat keadaan ini.





Pustaka

1.       Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th Edition, page 252 – 263.
2.       Harrison’s Manual of Medicine 16th Edition, page 5 – 8
3.       Buku Saku Klinis, Editor Marc S Sabatine, Halaman 120 -126








1/24/2006 11:31:38 PM

Tidak ada komentar: