27/11/13

tifoid lengkap

Pendahuluan
            Genus Salmonella terdiri dari sekitar 2300 serotipe yang memiliki daya adaptasi yang amat tinggi pada hospes manusia dan berbagai jenis hewan serta dapat menyebabkan berbagai macam penyakit. Sebagian dari serotipe tersebut yaitu S.typhii dan S.paratyphii dapat menyebabkan demam enterik dan hanya dapat hidup pada manusia. Serotipe yang lain, biasa disebut Salmonella nontifoid, memiliki prevalensi pada traktus gastrointestinal berbagai macam hewan, termasuk diantaranya mamalia, reptil, unggas dan serangga. Sekitar 200 dari serotipe tersebut dapat bersifat patogen pada manusia, umumnya menyebabkan gastroenteritis, infeksi lokal dan atau bakteriemia.

Definisi
            Demam tifoid merupakan penyakit sistemik yang memiliki karakteristik berupa demam dan nyeri abdomen yang diakibatkan oleh diseminasi S.typhii atau S.paratyphii. Penyakit ini pada awalnya disebut sebagai demam tifoid karena memiliki kemiripan klinis dengan penyakit tifus. Walaupun demikian pada awal abad ke-19 demam tifoid dengan jelas didefinisikan secara patologis sebagai suatu penyakit unik berdasarkan asosiasinya dengan pembesaran plak Peyer dan nodus limfatikus mesenterika. Pada tahun 1869, istilah demam enteric diajukan dan sebagai desain alternatif untuk membedakan demam tifoid dengan tifus. Walaupun demikian, sampai saat ini kedua istilah tersebut masih dipergunakan secara bergantian.

Epidemiologi
Berlawanan dengan serotipe Salmonella lainnya, S.typhii dan S.paratyphii tidak memiliki hospes lain selain manusia. Oleh karena itu, demam enteric hanya ditransmisikan melalui kontak erat dengan individu yang terinfeksi secara akut atau karier kronik. Walaupun transmisi langsung antar manusia melalui rute fekal-oral telah didokumentasikan, angka kejadiannya sebenarnya cukup rendah. Kebanyakan kasus umumnya diakibatkan dari mengkonsumsi air atau makanan yang terkontaminasi. Paramedis biasanya terserang penyakit ini setelah mengalami pajanan terhadap pasien yang terinfeksi, sementara petugas laboratorium dapat terserang penyakit ini apabila mengalami kecelakaan dalam penanganan spesimen.
            Lebih dari empat dekade yang lalu, jumlah kasus demam enteric di negara maju telah mengalami penurunan berkat peningkatan kualitas penanganan makanan dan penanganan air limbah. Dalam sekitar 10 tahun belakangan, tercatat hanya sekitar 400 kasus demam tifoid dan sedikit kasus demam paratifoid dilaporkan tiap tahunnya di AS. Sebaliknya, demam enteric terus menjadi masalah kesehatan global dengan angka kejadian sekitar 13-17 juta kasus tiap tahunnya di dunia dengan angka kematian sekitar 600.000 per tahun. Anak-anak usia <1 tahun nampaknya paling rentan terhadap infeksi awal dan perkembangan penyakit ke arah yang lebih buruk.
            Demam enteric bersifat endemic di kebanyakan daerah berkembang, terutama di India, Amerika Tengah dan Utara serta Asia. Hal ini berhubungan dengan pertumbuhan penduduk yang cepat, peningkatan urbanisasi, penanganan limbah yang inadekuat, persediaan air bersih yang terbatas serta system pemeliharaan kesehatan yang terbatas. Kondisi-kondisi inilah yang dinilai bertanggung jawab pada epidemi demam tifoid di Eropa Selatan baru-baru ini. Resistensi terhadap antibiotik pada Salmonella juga merupakan suatu permasalahan tersendiri dan saat ini dihubungkan dengan penggunaan antibiotik pada hewan ternak. Banyak strain dari S.typhii mengandung plasmid yang mengkode faktor resistensi terhadap kloramfenikol, ampisilin, dan trimetoprim - antibiotik yang sejak lama dipergunakan untuk mengatasi demam enteric. Sebagai tambahan, resistensi terhadap siprofloksasin, baik yang dikode oleh kromosom ataupun plasmid, telah diobservasi di Asia. Tingkat morbiditas dan mortalitas meningkat pada kejadian luar biasa yang diasosiasikan dengan strain yang resisten terhadap antibiotik, kemungkinan diakibatkan oleh penanganan yang tidak adekuat atau terlambat.
Di Indonesia demam tifoid masih merupakan penyakit endemik. Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari  survei berbagai rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8% yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus. Insidens demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan; di daerah rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan insidens di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan. Case Fatality Rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari seluruh kematian di Indonesia. Sehingga tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tertinggi.

Etiologi
Salmonella merupakan suatu genus besar dari bakteri batang Gram-negatif dalam famili Enterobactericeae. Nomenklatur dan klasifikasi dari genus bakteri ini telah mengalami banyak revisi, terutama pada tahun 1983 dimana lebih dari 2000 serotipe dikelompokkan dalam satu spesies S.cholerasuis berdasarkan kesamaan dari DNA bakteri-bakteri tersebut. Spesies ini kemudian dibagi lagi menjadi 7 subgrup berdasarkan spesifitas hospes dan kemiripan DNA. Hampir semua strain yang patogen terhadap manusia berada dalam subgrup 1 (enterica atau cholerasuis), terkecuali beberapa strain yang bersifat patogen namun jarang menginfeksi manusia (subgrup 3a dan 3b). Nomenklatur untuk spesies ini cukup kompleks. Sebagai contoh, penamaan yang tepat untuk organisme yang dapat menyebabkan demam tifoid adalah Salmonella cholerasuis ssp cholerasuis (atau subgrup 1), serovar typhii. Karena dianggap menyulitkan, dibuatlah suatu sistem yang disederhanakan dan dipergunakan secara luas, dimana dipergunakan nama spesies sebelum mengalami reklasifikasi. Dengan sistem ini maka bakteri yang telah disebutkan diatas umum disebut hanya dengan sebutan Salmonella typhii.
             Identifikasi awal dari mikroorganisme ini pada laboratorium klinis didasarkan pada karakteristik pertumbuhan. Seperti Enterobactericeae lain, Salmonella memproduksi asam pada fermentasi glukosa, mereduksi nitrat dan tidak mereduksi sitokrom oksidase. Mikroorganisme ini tidak membentuk spora dan bersifat anaerob fakultatif. Salmonella dapat bergerak dengan menggunakan flagel peritrik (kecuali S.gallinarum-pullorum) dan memproduksi H2S pada fermentasi gula (kecuali S.typhii). Sekitar 99% isolat klinis tidak memfermentasi laktosa.
            Salmonella dapat juga diklasifikasikan lebih lanjut ke dalam serovarian berdasarkan keberadaan tiga determinan antigen mayor : antigen somatik O (komponen dinding sel lipopolisakarida), antigen permukaan Vi (hanya pada S.typhii dan paratyphii C) dan antigen flagel H. Secara umum, laboratorium klinis membagi Salmonella ke dalam 6 serogrup (A, B, C1, C2, D dan E) berdasarkan aktivitasnya terhadap antiserum untuk antigen somatik O. Pengelompokan ini hanya memberikan informasi klinis yang terbatas dikarenakan terdapatnya reaksi silang. Oleh karena itu, penentuan serotipe Salmonella memerlukan pengujian biokimiawi dan serologis lebih lanjut. Untuk evaluasi epidemiologis, strain dengan serovarian yang spesifik dapat ditentukan melalui bacteriophage typing, plasmid profile determination dan restricted length polimorphism analysis.
            Beberapa kemajuan terakhir dalam mendeteksi Salmonella typhii:
·       IDL Tubex® yang dipasarkan oleh sebuah perusahaan Swedia, dilaporkan dapat mendeteksi IgM O9 pasien dalam waktu beberapa menit.
·       Typhidot® yang memerlukan waktu tiga jam, dikembangkan di Malaysia untuk mendeteksi spesifik antibodi IgM dan IgG pada 50kD antigen S. typhi.
·       Typhidot-M® yang terakhir dikembangkan hanya untuk mendeteksi spesifik IgM saja.
·       Dipstick test yang dikembangkan di Belanda didasarkan pada penemuan spesifik  antibodi IgM yang menempel pada antigen lipopolysakarida S. typhii dan pewarnaan ikatan antibodi tersebut dengan anti-human IgM antibodi yang terkonjugasikan dengan partikel perwarna koloid.




Patogenesis
Masuknya kuman Salmonella typhi (S,typhi)  dan Salmonella paratyphi(S. paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons immunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit  terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup  dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya di bawa ke plaque Payeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.
            Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan  secara “intermittent” ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler, gangguan mental, dan koagulasi.
            Di dalam plaque Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksikan reaksi hipersensitif tipe lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plaque Payeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernafasan, dan gangguan organ lainnya.

Manifestasi Klinis
Infeksi S. typhi diperoleh melalui tertelannya makanan atau air yang terkontaminasi oleh feses yang mengandung kuman S. typhi. Dosis kuman yang dapat menimbulkan demam tifoid adalah 105 kuman S. typhi patogenik.
Periode inkubasi pada pasien tergantung pada kuantitas dari inokulum yang tertelan dan daya tahan tubuh pasien. Periode inkubasi biasanya berlangsung dalam 8-14 hari, dan berkisar antara 3-60 hari. Gejala dapat timbul setelah terjadi bakteriemia sekunder, dimana terdapat 1-10 bakteri/ml darah.
            Manifestasi klinis dari demam tifoid bervariasi mulai dari sakit ringan dengan demam, malaise, dan batuk kering, hingga sakit berat yang disertai rasa tidak enak pada perut sampai disertai dengan penyulit multipel. Beberapa faktor mempengaruhi derajat dan gambaran klinis penyakit yang timbul, yaitu durasi penyakit selama belum diberikan pengobatan yang tepat, pemilihan antibiotik yang sesuai, usia, kuantitas inokulum yang tertelan, dan faktor daya tahan tubuh dari pasien.
            Demam tifoid akut ditandai dengan adanya demam terus menerus (sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan suhu badan terutama lebih tinggi pada sore hingga malam hari), gangguan fungsi pencernaan (konstipasi terutama pada pasien dewasa, diare terutama pada anak), sakit kepala, malaise dan anoreksia. Batuk (bronchitic cough) sering ditemukan pada awal sakit.
            Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu badan meningkat. Pada minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relatif (bradikardia relatif adalah peningkatan suhu 1o C yang tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, sedangkan tepi dan ujung lidah hiperemis, serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis.
Selama periode demam, sampai dengan 25% pasien menunjukkan eksantema (rose spots) pada dada, perut dan punggung. Rose spots merupakan suatu ruam makulopapular berwarna pucat seperti salmon yang biasanya terletak pada dada dan batang tubuh, ruam ini terdapat pada sekitar 30% pasien pada akhir minggu pertama perjalanan penyakit dan menghilang dalam 2-5 hari tanpa meninggalkan bekas. Rose spot jarang ditemukan pada orang Indonesia.
            Demam tifoid akut dapat menjadi berat dan menimbulkan penyulit yang serius yang dapat ditemukan pada minggu ketiga dan keempat perjalanan penyakit, penyulit yang terjadi umumnya berupa perforasi usus dan atau perdarahan gastrointestinal. Komplikasi ini dapat muncul walaupun terdapat perbaikan secara klinis, hal ini diperkirakan terjadi karena terdapat nekrosis pada tempat awal infiltrasi Salmonella pada usus halus. Tanda dan gejala dari perforasi intestinal dan peritonitis yang terjadi seperti peningkatan frekuensi denyut nadi yang tiba-tiba, hipotensi, nyeri abdomen, nyeri tekan abdomen, muscle guarding, dan kekakuan otot perut. Pada keadaan ini didapatkan peningkatan jumlah sel darah putih (shift to the left) dan gambaran udara bebas pada radiografi abdomen.
Komplikasi yang disebutkan di atas bersifat mengancam kehidupan dan membutuhkan intervensi segera baik secara medis maupun bedah, ditambah dengan antibiotik spectrum luas untuk mengatasi dan mencegah peritonitis polimikrobial serta penanganan perdarahan gastrointestinal, termasuk diantaranya reseksi usus.
            Komplikasi yang jarang terjadi, diantaranya adalah pankreatitis, abses hepatik dan splenik, endokarditis, perikarditis, orkitis, hepatitis, meningitis, nefritis, myocarditis, pneumonia, artritis, osteomielitis dan parotitis.
Walaupun telah mendapatkan terapi antibiotik yang sesuai, pada sekitar 10% individu imunokompeten dapat terjadi relaps.  

Pemeriksaan Penunjang
Pada 15-25% kasus, dapat ditemukan leukopenia dan neutropenia. Pada sebagian besar kasus, leukosit tetap normal. Leukositosis dapat terjadi selama 10 hari pertama sakit, atau bila terjadi penyulit berupa perforasi intestinal atau oleh karena infeksi sekunder. Selain itu dapat pula ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah pada demam tifoid dapat meningkat. SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh.
Diagnosis definitif dari demam tifoid tergantung dari isolasi S.typhi dari darah, sumsum tulang atau lesi anatomik spesifik. Adanya gejala klinis yang khas dari demam tifoid ataupun deteksi dari respon antibodi spesifik adalah bersifat sugestif untuk demam tifoid, bukan definitif.
Kultur positif dari kuman S.typhi atau S. Paratyphi merupakan ”gold standard” diagnostik pada demam tifoid. Temuan kuman pada kultur darah paling banyak (90%) didapatkan pada minggu pertama infeksi, dan menurun sampai 50% pada minggu ketiga.
Diagnosis juga dapat ditegakkan berdasarkan kultur positif dari feses, urin, rose spots, sumsum tulang, dan cairan lambung atau usus. Tidak seperti kultur darah, kultur sumsum tulang dapat tetap sensitif (90%) walaupun telah diberi antibiotik selama 5 hari. Kultur feses dapat negatif (pada 60-70% kasus) selama minggu pertama sakit, dan dapat menjadi positif pada minggu ketiga pada pasien yang tidak diobati. Pada pasien karier kronik, kultur tinja dapat tetap positif sampai lebih dari 8 minggu hingga 1 tahun. Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa hal sebagai berikut:
-          telah mendapat terapi antibiotik
-          volume darah yang kurang
-          riwayat vaksinasi
-          saat pengambilan darah setelah minggu pertama
Uji Widal mamiliki tingkat positif palsu dan negatif palsu yang tinggi, sehingga secara klinis tidak terlalu bermanfaat. Uji Widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S. typhi. Dari ketiga aglutinin O, H dan Vi pada serum darah penderita, hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi hasil dari uji Widal yaitu:
-          pengobatan dini dengan antibiotik
-          gangguan pembentukan antibodi, dan pemberian kortikosteroid
-          waktu pengambilan darah
-          daerah: endemik atau non endemik
-          riwayat vaksinasi
-          reaksi anamnestik
-          faktor teknik pemeriksaan anatr laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen

Definisi Kasus Demam Tifoid
Confirmed Case
            Pasien dengan demam (suhu 38o C atau lebih) yang telah berlangsung sedikitnya selama 3 hari, dengan hasil laboratorium kultur positif S.typhi (confirmed) dari darah, sumsum tulang, cairan gaster/usus.
Probable Case
            Pasien dengan demam (38o C atau lebih) yang telah berlangsung sedikitnya selama 3 hari, dengan serodiagnosis atau tes deteksi antigen positif, tetapi tanpa dilakukan isolasi kuman S.typhi.
Karier Kronik
            Ekskresi S. typhi pada tinja atau urin (atau kultur empedu atau duodenal ulangan yang positif) yang lebih dari 1 tahun sejak onset dari demam tifoid akut. Karier jangka pendek juga ada, tetapi peranannya kurang begitu penting dibandingkan karier kronik. Beberapa pasien yang mengekskresikan S.typhi bisa tidak memiliki riwayat demam tifoid sebelumnya.

Penatalaksanaan
Perawatan
Pasien demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi, dan pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi perforasi atau perdarahan usus. Mobilisasi pasien dilakukan secara bertahap sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.

Diet
Diet tinggi kalori dan protein sangat diperlukan dalam diet demam tifoid untuk mengganti kehilangan kalori dan kerusakan protein jaringan. Pemberian makanan padat pada penderita demam tifoid pada kenyataannya tidak memberikan efek penyulit yang berarti. Tetapi harus tetap diingat bahwa memberikan ketenangan pada usus yang menderita sakit sangat diperlukan. Pemberian makanan yang berlebihan serta banyak mengandung serat yang sukar dicerna tidak dianjurkan.
Dalam tata laksana diet penderita demam tifoid, pemberian makanan tergantung dari keadaan penderita, ada yang lebih menyukai pemberian dini makanan padat dan ada yang tidak.

Obat
·         Antibiotika
1.      Kloramfenikol
Kloramfenikol merupakan antibiotika berspektrum luas, efektif terhadap bakteri Gram positif dan negatif, meskipun penggunaannya terbatas karena toksik. Kloramfenikol bekerja dengan menghambat sintesa protein bakteri.
Kloramfenikol dapat diberikan secara peroral (berupa kapsul atau suspensi/sirup) dan intravena. Lama terapi 8-10 hari setelah suhu tubuh kembali normal; untuk mencegah terjadinya kekambuhan lama terapi dapat diberikan selama 14 hari penuh.
            Kloramfenikol didistribusi secara luas ke jaringan dan cairan tubuh. Kloramfenikol dapat masuk ke cairan serebrospinal dengan kadar 50% dari yang beredar dalam darah. Obat ini juga dapat menembus plasenta ke sirkulasi darah janin, ASI, dan cairan mata. Kloramfenikol berikatan dengan protein plasma di sirkulasi ±60%. Waktu paruh kloramfenikol berkisar 1,5 - 4 jam dan dapat lebih lama pada penderita dengan penyakit hati atau bayi. Metabolisme kloramfenikol terjadi di hati. Ekskresi kloramfenikol terutama melalui air kemih, sebagian kecil lagi diekskresi melalui tinja.
Untuk mencegah terjadinya efek samping yang tidak diharapkan maka perlu dilakukan pemantauan kadar kloramfenikol dalam plasma selama penggunaan obat ini. Pada penderita gangguan fungsi hati, dosis obat ini diturunkan.

2.  Ampisilin dan amoksisilin
Ampisilin dan amoksisilin merupakan antibiotic yang berspektrum luas dan termasuk golongan antibiotic penisilin (betalaktam). Antibiotic ini mempunyai mekanisme merusak dinding sel bakteri dengan menghambat sintesa peptidoglikan yang terdapat pada dinding sel.
Amoksisilin digunakan sebagai alternative pengobatan bila ditemukan resistensi terhadap kloramfenikol. Ampisilin dan amoksisilin merupakan obat yang kurang mempunyai toksisitas langsung, kebanyakan efek samping berat disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas. Reaksi alergi dapat berupa syok anafilaksis, urtikaria, panas, pembengkakan sendi, pruritus hebat, dan gangguan pernapasan, serta berbagai ruam kulit lainnya. Reaksi toksisitas dapat ditimbulkan oleh iritasi langsung karena suntikan i.m. atau i.v. dalam konsentrasi sangat tinggi berupa nyeri setempat, indurasi, tromboflebitis, atau degenerasi saraf yang disuntik secara tidak sengaja. Pemberian dosis besar per oral dapat mengakibatkan gangguan saluran cerna terutama mual, muntah dan diare.

3.  Trimetoprim dan sulfametoksazol
Trimetoprim dan sulfametoksazol adalah kombinasi antibiotic trimetoprim dan sulfametoksazol. Trimetoprim dan sulfametoksazol masing-masing mempunyai sifat sebagai bakteriostatik, tetapi apabila dikombinasi akan bersifat bakterisida. Trimetoprim dan sulfametoksazol terutama digunakan pada penderita yang alergi atau ada dugaan kuat kuman S. typhi resisten terhadap kloramfenikol dan ampisilin-amoksisilin. Respon penggunaan obat trimetoprim dan sulfametoksazol tidak sebaik respon terhadap ampisilin dan kloramfenikol, tetapi tetap dapat menghasilkan perbaikan klinis.
Pengobatan kurang dari 14 hari akan memberi resiko relaps. Trimetoprim-sulfametoksazol dapat memberikan efek samping berupa efek obat anti folat, terutama anemia megaloblastik, leucopenia, dan granulositopenia. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian asam folinat secara bersamaan 6-8 mg/hari.

4.  Golongan sefalosporin
Multi drug resistant Salmonella typhi (MDRST) adalah istilah yang diberikan pada kuman S. typhi yang resisten terhadap 3 antibiotik oral pilihan pertama, yaitu kloramfenikol, ampisilin/amoksisilin, dan trimetoprim-sulfametoksazol. Oleh karena itu, baru-baru ini generasi ke-3 sefalosporin telah dipertimbangkan sebagai obat utama pada MDRST.
Sefalosporin merupakan antibiotic yang menyerupai penisilin, tetapi resisten terhadap betalaktamase serta aktif terhadap bakteri Gram positif maupun Gram negative. Mekanisme kerja sefalosporin analog penisilin yaitu menghambat sintesis peptidoglikan pada dinding sel bakteri. Seftriakson, sefotaksim, sefiksim, dan sefoperason adalah yang sering digunakan sebagai alternative pengobatan pada MDRST.
Pada gagal ginjal, dosis harus diturunkan karena ekskresi sefalosporin akan terganggu serta kadar sefalosporin yang tinggi dalam jaringan dan cairan tubuh dapat menimbulkan efek toksik.

·         Obat simtomatik dan suportif
1.      Antipiretik
Antipiretik hanya diberikan bila panas lebih dari 38,5oC atau terdapat kejang demam (atau riwayat kejang demam).
2.      Kortikosteroid
Pasien yang toksik dapat diberikan kortikosteroid oral atau parenteral dalam dosis yang menurun secara bertahap selam 5 hari. Pemberian cepat deksametason dengan menggunakan 3 mg/kgBB untuk dosis awal, diikuti 1 mg/kgBB setiap 6 jam selama 48 jam, hasilnya biasanya memuaskan, kesadaran pasien tidak terganggu dan suhu badan cepat turun menjadi normal. Akan tetapi kortikosteroid tidak boleh diberikan tanpa indikasi karena dapt menyebabkan perdarahan intestinal dan relaps.
3.      Transfusi darah dan pembedahan
Pada perdarahan usus berat, transfuse darah diperlukan. Intervensi pembedahan dengan antibiotika spectrum luas dianjurkan pada perforasi usus. Transfusi trombosit telah disarankan untuk pengobatan trombositopeni yang cukup berat yang menyebabkan perdarahan usus pada penderita yang akan dilakukan pembedahan.

Komplikasi
1. Komplikasi Intestinal
-          Perdarahan usus (bila gawat harus dilakukan pembedahan)
-          Perforasi usus (harus dilakukan pembedahan)
-          Ileus paralitik
2. Komplikasi Ekstra-Intestinal
1.  Darah : Anemia  hemolitik,  trombositopenia,  DIC,  Sindroma  uremia hemolitik 
2.  Kadiovaskular : Syok septik, miokarditis, trombosis, tromboflebitis
3.  Paru-paru : Empiema, pneumonia, pleuritis, bronkhitis    
4.  Hati dan kandung empedu  : Hepatitis, kholesistitis
5.  Ginjal : Glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis
6.  Tulang : Osteomielitis, periostitis, spondilitis, arthritis
7.  Neuropsikiatrik : Delirium, meningismus, meningitis, polineuritis perifer, encephalopaty,  Sindrome  Guillian  –  Barre,  psikosis, gangguan koordinasi, sindroma katatonia.                                             

Komplikasi pada tifoid dapat dikelompokkan dalam komplikasi yang langsung akibat gangguan pada sistem retikuloendotelial dan komplikasi tak langsung karena adanya bakteremia.
Komplikasi yang langsung berupa perdarahan dan perforasi tukak di ileum, kolesistitis akut dan kronik, hepatitis tifosa, osteomielitis dan perdarahan pada otot yang rusak karena toksin kuman tifoid. Kerusakan otot dapat menyebabkan abses terutama di otot paha dan otot perut. Peradangan di jaringan limfe usus halus sering menyebabkan ileus paralitik. Osteomielitis biasanya menyerang tibia, sternum, iga dan tulang belakang.
            Sekitar 1-5% pasien demam tifoid akan karier yang kronis dan asimptomatik. Pada orang-orang ini, S. typhi dapat keluar baik melalui urin ataupun tinja selama lebih dari 1 tahun. Kejadian karier kronis lebih tinggi pada wanita dan pada orang-orang dengan kelainan bilier (seperti batu empedu, karsinoma kandung empedu) dan keganasan gastrointestinal.
            Komplikasi lanjut, yang terjadi pada minggu ke-3 dan ke-4, paling sering terjadi pada orang dewasa yang tidak diobati. Komplikasi ini dapat berupa perforasi intestinal dan/atau perdarahan gastrointestinal. Kedua komplikasi tersebut dapat mengancam keselamatan jiwa penderita dan membutuhkan intervensi medis dan bedah secepatnya.
Perdarahan tukak tifus ditemukan pada kira-kira 5 % penderita, sedangkan perforasi pada 3% dengan mortalitas tinggi. Komplikasi ini biasanya terjadi pada minggu kedua atau ketiga. Beberapa keadaan ternyata disertai dengan resiko tinggi terjadinya perdarahan dan perforasi, yaitu kadar albumin serum yang rendah (< 2,5 gr%) yang menunjukkan gizi kurang, kadar obat yang tidak memadai, banyak gerak, dan keadaan penyakit berat, misalnya demam lebih dari tiga minggu. Pada keadaan toksik kesadaran menurun dan bradikardia relatif yang berubah menjadi takikardia merupakan tanda buruk yang mengarah ke syok toksik disertai miokarditis.
Untuk mengurangi kemungkinan komplikasi perdarahan dan/atau perforasi usus, penderita dianjurkan mendapatkan diet cukup dan lunak sampai demam hilang sama sekali. Penderita pun harus membatasi geraknya. Obat antitifoid perlu diberikan secara tepat dengan dosis yang memadai dan diminum secara teratur.
Penyulit tak langsung berupa infeksi fokal yang dapat terjadi pada setiap organ. Infeksi fokal ini antara lain berupa tromboflebitis di v.femoralis, v.safena maupun sinus otak, juga berupa nefritis, orkitis, parotitis dan bronkitis yang mudah berlanjut menjadi pneumonia yang mungkin disusul empiem. Meningitis biasanya merupakan lanjutan tromboflebitis di sinus otak.
Penyulit lain dari demam tifoid adalah terjadinya relaps. Umumnya relaps ditandai dengan timbulnya kembali keluhan serta gejala dari demam tifoid disertai bakteriemia dan kelainan patologik di traktus intestinal. Suhu meninggi kembali dan mencapai puncak lebih cepat yaitu pada hari ke-2 atau ke-3. Relaps biasanya terjadi pada hari ke 7-10 setelah afebril, ada juga yang terjadi 3 minggu setelah afebril dan ada pula yang relaps setelah 3 bulan obat kloramfenikol dihentikan. Limpa yang tetap teraba adalah gejala penting dari kecenderungan terjadinya relaps. Perjalanan relaps pada umumnya lebih ringan tapi kadangkala dapat menjadi fatal.
            Komplikasi lain seperti pankreatitis, abses hepatik dan lien, endokarditis, perikarditis, orchitis, hepatitis typhosa, meningitis, nefritis, miokarditis, pneumonia, arthritis, osteomielitis, dan parotitis, jarang terjadi dan terjadi dan insidensinya dapat dikurangi dengan pengobatan antibiotik yang tepat

Pencegahan
            Secara umum untuk memperkecil kemungkinan tercemar Salmonella typhi, maka setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi. Salmonella typhi didalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 57ºC beberapa menit atau dengan proses iodinisasi/klorinisasi.
            Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 57ºC beberapa menit dan secara merata juga dapat mematikan kuman Salmonella typhi. Penurunan endemisitas suatu negara atau daerah bergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air dan pengaturan pembuangan sampah serta tingkat kesadaran individu terhadap higiene pribadi. Imunisasi aktif dapat membantu menekan angka kejadian demam tifoid.

Vaksin Demam Tifoid
            Saat sekarang dikenal tiga macam vaksin untuk penyakit demam tifoid yaitu yang berisi kuman yang dimatikan, kuman hidup dan komponen Vi dari Salmonella Typhi.
Vaksin demam tifoid oral
  • Vaksin ini dibuat dari kuman Salmonella typhi jalur non patogen yang telah dilemahkan. Kuman dalam vaksin ini hanya mengalami sedikit siklus pembelahan dalam usus dan dieliminasi dalam waktu 3 hari setelah pemakaiannya. Tidak seperti vaksin parenteral, respon imun pada vaksin ini termasuk sekretorik IgA. Secara umum efektivitasnya sama dengan vaksin parenteral yang diinaktivasi dengan pemanasan, tetapi vaksin oral ini reaksi sampingnya lebih rendah. Vaksin ini dalam perdagangan dikenal sebagai Ty-21a.
  • Cara pemberian tiap hari ke 1, 3, dan 5 ditelan 1 kapsul vaksin 1 jam sebelum makan dengan minuman yang tidak lebih dari 37ºC. Kapsul ke-4 pada hari ke-7 terutama bagi turis.
  • Kapsul harus ditelan utuh dan tidak boleh dipecahkan karena kuman dapat dimatikan oleh asam lambung.
  • Vaksin tidak boleh diberikan bersamaan dengan antibiotik, sulfonamid, atau antimalaria yang aktif terhadap salmonella
  • Imunisasi ulangan : tiap 5 tahun. Namun pada individu yang terus terekspos dengan infeksi tifus sebaiknya diberikan 3-4 kapsul tiap beberapa tahun.
Vaksin polisakarida parenteral
  • Susunan vaksin polisakarida setiap 0,5 ml mengandung kuman Salmonella typhi, polisakarida 0,025 mg, fenol dan larutan bufer yang mengandung natrium klorida, disodium fosfat, monosodium fosfat dan pelarut untuk suntikan.
  • Penyimpanan pada suhu 2ºC-8ºC, jangan dibekukan.
  • Kadaluwarsa dalam 3 tahun.
  • Pemberian secara suntikan intramuskular atau subkutan pada daerah deltoid atau paha.
  • Imunisasi ulangan tiap 3 tahun.
  • Reaksi samping lokal berupa bengkak, nyeri, kemerahan ditempat suntikan. Reaksi sistemik berupa demam, nyeri kepala, pusing, nyeri sendi, nyeri otot, nausea, nyeri perut jarang dijumpai. Sangat jarang bisa terjadi reaksi alergi berupa pruritus, ruam kulit dan urtikaria
  • Kontrandikasi : alergi terhadap bahan dalam vaksin, juga pada saat demam, penyakit akut maupun penyakit kronik progresif.


DAFTAR PUSTAKA


1.      Kasper, D. L., et al. Harrison's Principles of Internal Medicine. 16th Edition.
         McGraw-Hill Professional. 2004.
2.      Http://www.who.int. Background Document: The Diagnosis, Treatment and Prevention of Typhoid Fever. 2003.

3.      Widodo, J. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Demam Tifoid. Edisi ke-4. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta. 2006.

Tidak ada komentar: