04/11/12

DIARE AKUT


I. Pendahuluan
            Diare merupakan penyakit yang biasa terjadi pada anak-anak dan dapat disebabkan oleh berbagai macam penyebab dengan variasi penyakit dari yang ringan hingga berat. Diare yang terjadi pada anak-anak biasanya disebabkan oleh karena infeksi, meskipun demikian diet makanan yang tidak sesuai, terjadinya malabsorpsi makanan, dan berbagai macam gangguan pada saluran cerna juga dapat menyebabkan keadaan tersebut. Penyakit diare ini biasanya merupakan penyakit yang sembuh dengan sendirinya (“self-limited”), tetapi manajemen dan tatalaksana yang tidak baik dari infeksi akut tersebut dapat menyebabkan komplikasi yang tidak diinginkan..
            Komplikasi yang seringkali terjadi akibat diare adalah kehilangan cairan dari tubuh atau yang disebut dengan dehidrasi (Frye, 2005). Cairan akan masuk ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan dan kemudian akan diabsorpsi di dalam tubuh. Jika kemampuan untuk minum untuk mengkompensasi kehilangan cairan akibat diare terganggu maka dehidrasi akan terjadi. Kematian yang terjadi akibat diare pada anak-anak terutama disebabkan karena kehilangan cairan dari tubuh dalam jumlah yang besar (Karras, 2005).

II. Definisi
            Diare adalah suatu keadaan pergerakan tinja yang cepat, konsistensi cair/berair, lembek dan dapat ditambah dengan keadaan saluran cerna yang penuh dengan gas (Karras, 2005). Sedangkan yang dimaksud dengan diare akut adalah buang air besar yang terjadi pada bayi atau anak yang sebelumnya nampak sehat, dengan frekuensi 3 kali atau lebih per hari, disertai perubahan tinja menjadi cair, dengan atau tanpa lendir dan darah (Sunoto, 1991). Pada bayi yang masih mendapat ASI tidak jarang frekuensi defekasinya lebih dari 3-4 kali sehari, keadaan ini tidak dapat disebut diare, melainkan masih bersifat fisiologis atau normal. Kadang-kadang seorang anak defekasi kurang daripada 3 kali sehari, tetapi konsistensinya sudah encer, keadaan ini sudah dapat disebut diare.
            Menurut Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD – RSHS (2005) yang dimaksud dengan diare akut adalah buang air besar dengan konsistensi lebih encer/cair dari biasanya, tiga kali atau lebih dalam satu hari, dapat/tidak disertai dengan lendir/darah yang timbul secara mendadak dan berlangsung kurang dari 2 minggu (14 hari). Jika diare berlangsung 2 minggu atau lebih disebut dengan diare kronik.

III. Epidemiologi
            Diare merupakan penyakit yang umum terjadi pada hampir semua kelompok usia dan merupakan penyakit kedua tersering setelah influenza (common cold). Episode diare setiap tahun di Indonesia sekitar 60 juta dengan angka kematian sebanyak 200.000-250.000 orang. Menurut survei kesehatan rumah tangga yang dilakukan di Indonesia pada tahun 1986, angka kematian karena diare merupakan 12% diantara seluruh angka kematian kasar dan merupakan angka tertinggi diantara semua penyebab kematian. Sekitar 15% penyebab kematian bayi dan 26% kematian anak balita disebabkan oleh diare (Sunoto, 1991). 
            Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh WHO maka anak-anak dibawah usia 3 tahun mengalami 2-8 episode diare setiap tahunnya. Anak yang lebih besar mengalami kejadian diare 1 kali setiap tahunnya.
            Cara penularan diare pada umumnya adalah secara oro-fecal melalui 1) makanan dan minuman yang telah terkontaminasi oleh enteropatogen, 2) kontak langsung tangan dengan penderita atau barang-barang yang telah tercemar tinja penderita, atau tidak langsung melalui lalat. Di dalam bahasa Inggris maka terdapat 4 F di dalam cara penularan diare ini yaitu  food (makanan), feces (tinja), finger (jari tangan), and fly (lalat) (Sunoto, 1991).
            Faktor risiko terjadinya diare diantaranya adalah 1) tidak cukup tersedianya air bersih, 2) tercemarnya air oleh tinja, 3) tidak ada/kurangnya sarana MCK, 4) higiene perorangan dan sanitasi lingkungan yang buruk, 5) cara penyimpanan dan penyediaan makan yang tidak higienis, dan 6) cara penyapihan bayi yang tidak baik (terlalu cepat disapih, terlalu cepat diberi susu botol, dan terlalu cepat diberi makanan padat). Selain itu terdapat pula beberapa faktor risiko pada pejamu (host) yang dapat meningkatkan kerentanan pejamu terhadap enteropatogen diantaranya adalah malnutrisi dan bayi berat badan lahir rendah (BBLR), imunodefisiensi atau imunodepresi, rendahnya kadar asam lambung, dan peningkatan motilitas usus.
IV. Etiologi
Penyebab diare akut adalah sebagai berikut ini (Mansjoer, 2000 ; & Sunoto, 1991) :
1)      Infeksi : virus, bakteri, dan parasit.
a)      Golongan virus : Rotavirus, Adenovirus, Virus Norwalk, Astrovirus, Calicivirus, Coronavirus, Minirotavirus.
b)      Golongan bakteri : Shigella spp., Salmonella spp., Escherecia coli, Vibrio cholera, Vibrio parahaemoliticus, Aeromonas hidrophilia, Bacillus cereus, Campylobacter jejuni, Clostridium difficile, Clostridium perfringens, Staphylococcus aureus, Yersinia enterocolitica.
c)      Golongan parasit, protozoa : Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Balantidium coli ; cacing perut : Ascariasis, Trichuris truchiura, Strongiloides stercoralis ; jamur : Candida spp.
2)      Malabsorpsi : karbohidrat (intoleransi laktosa), lemak terutama trigliserida rantai panjang, atau protein seperti beta-laktoglobulin.
3)      Makanan : makanan basi, makanan beracun. Diare karena keracunan makanan terjadi akibat dua hal yaitu makanan mengandung zat kimia beracun atau makanan mengandung mikroorganisme yang mengeluarkan toksin, antara lain Clostridium perfringens, Staphylococcus.
4)      Alergi terhadap makanan : terutama disebabkan oleh Cow’s milk protein sensitive enteropathy (CMPSE), dan juga dapat disebabkan oleh makanan lainnya.
5)      Imunodefisiensi. Diare akibat imunodefisiensi ini sering terjadi pada penderita AIDS.
6)      Psikologis : rasa takut dan cemas.

            Dari berbagai macam penyebab diare akut tersebut diatas, maka yang paling sering menjadi penyebab diare akut apa anak-anak adalah infeksi virus. Rotavirus dan adenovirus merupakan penyebab tersering diare akut pada anak dibawah usia 2 tahun. Astrovirus dan calicivirus biasanya menginfeksi anak-anak yang berusia dibawah tahun (Karras, 2005).
            Berikut ini akan dibahas beberapa enteropatogen/penyebab diare akut spesifik yang dianggap merupakan penyebab diare yang utama :

Rotavirus.
            Rotavirus pertama kali ditemukan oleh Bishop (1973) di Australia pada biopsi duodenum penderita diare dengan menggunakan mikroskop elektron. Ternyata kemudian Rotavirus ditemukan di seluruh dunia sebagai penyebab diare akut yang paling sering, terutama pada bayi dan anak usia 6-24 bulan. Di Indonesia, berdasarkan penelitian di beberapa Rumah Sakit di Jakarta, Yogyakarta, dan Bandung berkisar 40-60% diare akut disebabkan oleh Rotavirus.
            Akibat infeksi Rotavirus ini pada usus terjadi kerusakan sel epitel mukosa usus, infeksi sel-sel radang pada lamina propia, pemendekan jonjot usus, pembengkakan mitokondria, dan bentuk mikrovili (brush border) yang tidak teratur. Sebagai akibat dari semua ini adalah terjadinya gangguan absorpsi cairan/elektrolit pada usus halus dan juga akan terjadi gangguan pencernaan (digesti) dari makanan terutama karbohidrat karena defisiensi enzim disakaridase akibat kerusakan epitel mukosa usus tadi.

Escherichia coli.
            E. coli menyebabkan sekitar 25% diare di negara berkembang dan juga merupakan penyebab diare kedua setelah Rotavirus pada bayi dan anak. Pada saat ini telah dikenal 5 golongan E.coli yang dapat menyebabkan diare, yaitu ETEC (Enterotoxic Escherichia coli), EPEC (Enteropathogenic Eschericia coli), EIEC (Enteroinvasive Eschericia coli), EAEC (Enteroadherent Escherichia coli), dan EHEC (Enterohemorrhagic Escherichia coli).
            ETEC merupakan penyebab utama diare dehidrasi di negara berkembang. Transmisinya melalui makanan (makanan sapihan/makanan pendamping), dan minuman yang telah terkontaminasi. Pada ETEC dikenal 2 faktor virulen, yaitu 1) faktor kolonisasi, yang menyebabkan ETEC dapat melekat pada sel epitel usus halus (enterosit) dan 2) enterotoksin. Gen untuk faktor kolonisasi dan enterotoksin terdapat dalam plasmid, yang dapat ditransmisikan ke bakteri E.coli lain. Terdapat 2 macam toksin yang dihasilkan oleh ETEC, yaitu toksin yang tidak tahan panas (heat labile toxin = LT) dan toksin yang tahan panas (heat stable toxin = ST). Toksin LT menyebabkan diare dengan jalan merangsang aktivitas enzim adenil siklase seperti halnya toksin kolera sehingga akan meningkatkan akumulasi cAMP, sedangkan toksin ST melalui enzim guanil siklase yang akan meningkatkan akumulasi cGMP. Baik cAMP maupun cGMP akan menyebabkan perangsangan sekresi cairan ke lumen usus sehingga terjadi diare. Bakteri ETEC dapat menghasilkan LT saja, ST saja atau kedua-duanya. ETEC tidak menyebabkan kerusakan rambut getar (mikrovili) atau menembus mukosa usus halus (invasif). Diare biasanya berlangsung terbatas antara 3-5 hari, tetapi dapat juga lebih lama (menetap, persisten).
            EPEC dapat menyebabkan diare berair disertai muntah dan panas pada bayi dan anak dibawah usia 2 tahun. Di dalam usus, bakteri ini membentuk koloni melekat pada mukosa usus, akan tetapi tidak mampu menembus dinding usus. Melekatnya bakteri ini pada mukosa usus karena adanya plasmid. Bakteri ini cepat berkembang biak dengan membentuk toksin yang melekat erat pada mukosa usus sehingga timbul diare pada bayi dan sering menimbulkan prolong diarrhea terutama bagi mereka yang tidak minum ASI.
            EIEC biasanya apatogen, tetapi sering pula menyebabkan letusan kecil (KLB) diare karena keracunan makanan (food borne). Secara biokimiawi dan serologis bakteri ini menyerupai Shigella spp., dapat menembus mukosa usus halus, berkembang biak di dalam kolonosit (sel epitel kolon) dan menyebabkan disentri basiler. Dalam tinja penderita, sering ditemukan eritrosit dan leukosit.
            EAEC merupakan golongan E.coli yang mampu melekat dengan kuat pada mukosa usus halus dan menyebabkan perubahan morfologis. Diduga bakteri ini mengeluarkan sitotoksin, dapat menyebabkan diare berair sampai lebih dari 7 hari (prolonged diarrhea).
            EHEC merupakan E.coli serotipe 0157 : H7, yang dikenal dapat menyebabkan kolitis hemoragik. Transmisinya melalui makanan, berupa daging yang dimasak kurang matang. Diarenya disertai sakit perut hebat (kolik, kram) tanpa atau disertai sedikit panas, diare cair disertai darah. EHEC menghasilkan sitotoksin yang dapat menyebabkan edem dan perdarahan usus besar.

Shigella spp.
            Infeksi Shigella pada manusia dapat asimptomatik sampai dengan disentri hebat disertai dengan demam, kejang-kejang, toksis, tenesmus ani, dan tinja yang berlendir dan darah. Golongan Shigella yang sering menyerang manusia di daerah tropis adalah Shigella dysentri, Shigella flexnori, sedangkan Shigella sonnei lebih sering terjadi di daerah sub tropis.
            Patogenesis terjadinya diare oleh Shigella spp. adalah karena kemampuannya mengadakan invasi ke epitel sel mukosa usus. Shigella juga mengeluarkan leksotoksin yang bersifat merusak sel (sitotoksin). Daerah yang sering diserang adalah bagian terminal dari ileum dan kolon. Akibat invasi dari bakteri ini terjadi infiltrasi sel-sel PMN dan kerusakan sel epitel mukosa sehingga timbul ulkus kecil-kecil di daerah invasi yang menyebabkan sel-sel darah merah, plasma protein, sel darah putih, masuk ke dalam lumen usus dan akhirnya keluar bersama tinja.

Salmonella spp.
            Di dunia terdapat lebih dari 2000 spesies, namun hanya 6-10 jenis saja yang menyebabkan diare. Di dalam klinik, golongan Salmonella yang menyebabkan diare dikenal dengan nama Nontyphoidal Salmonellosis, yang paling sering menimbulkan diare pada anak adalah S. Paratyphi A, B dan C. Binatang merupaka reservoir utama, oleh karena itu infeksi Salmonella spp. ini biasanya disebabkan oleh makanan yang berasal dari binatang, seperti daging, telur, susu, dan makanan-makanan daging dalam kaleng. Diare yang disebabkan Salmonella spp, biasanya disertai dengan rasa mual, kram perut, dan panas.
            Patogenesis Salmonella spp. ini seperti halnya dengan Shigella dapat melakukan invasi ke dalam mukosa usus halus sehingga juga dapat dijumpai adanya lendir dan darah pada tinja. Akan tetapi Salmonellosis ini tidak menyebabkan ulkus seperti pada Shigella.

Vibrio cholera.
Vibrio cholera pertama kali ditemukan oleh Robert Koch tahun 1883 pada penderita kolera. Terdapat dua biotipe Vibrio cholera yaitu El Tor dan classic, serta dua serotipe yaitu Ogawa dan Inaba. El Tor terkenal menyebabkan pandemi yang dimulai dari Sulawesi dan kemudian menyebab ke Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika Utara.
            Vibrio cholera mempunyai sifat yaitu tidak menyebabkan kerusakan mukosa usus dan mengeluarkan toksin yang menyebabkan diare. Vibrio cholera masuk ke dalam lumen usus melalui lambung dan peranan asam lambung akan menentukan seseorang apakah rentan terhadap diare atau tidak. Pada orang yang kadar asam lambungnya normal maka untuk dapat menimbulkan diare dibutuhkan jumlah kuman yang masuk sebesar 106, akan tetapi jika asam lambungnya kurang (pH menjadi lebih tinggi) maka jumlah 104 sudah dapat menimbulkan diare. Setelah kuman tersebut masuk ke dalam usus maka ia akan mengeluarkan toksin. Toksin yang dihasilkan oleh kuman kolera ini yaitu enterotoksin dan terdapat 2 jenis yaitu komponen A dan komponen B. Komponen B ini akan menempel pada reseptor yang ada di dinding sel mukosa usus yang disebut Gmi. Kemudian komponen A yang terlihat bersama dengan komponen B akan melakukan penetrasi ke dalam sel dan memisahkan diri dari komponen B. Selanjutnya di dalam sel komponen ini akan merangsang sensitifitas enzim adenil siklase dengan hasil selanjutnya akan meningkatkan akumulasi cAMP yang akan merangsang sekresi cairan isotonis dan klorida sehingga timbulah diare berair (Watery diarrhea).

Campylobacter jejuni.
            C. jejuni merupakan penyebab 5-10% diare di dunia. Di Indonesia prevalensinya sekitar 5,3%. Selain diare yang disertai lendir dan darah, juga terdapat gejala sakit perut disekitar pusar, yang kemudian menjalar ke kanan bawah dan rasa nyerinya menetap di tempat tersebut (seperti pada apendisitis akut). C. jejuni mengeluarkan 2 macam toksin yaitu sitotoksin dan toksin LT.
            Tempat infeksi yang paling sering dari C. jejuni ini adalah jejenum, ileum, dan colon. Terdapat kelainan pada mukosa usus, peradangan, edema, pembesaran kelenjar limfe mesenterium dan adanya cairan bebas di cavum peritonei. Jonjot usus halus ditemukan memendek dan melebar tetapi tidak konsisten. Ileum mengalami nekrosis hemoragik karena invasi bakteri ke dinding usus sehingga pada tinja dapat ditemukan adanya darah dan sel-sel radang.

Yersinia enterokolitika
            Yersinia enterokolitika merupakan bakteri baru sebagai penyebab diare dan telah banyak dilaporkan di berbagai negara di Eropa dan Amerika Utara. Patogenesis terutama oleh strain serotipe 03.08809 dengan melakukan invasi ke dalam mukosa usus, membentuk plasmid perantara dan enterotoksin yang tahan panas (ST) dan dapat mengaktifkan enzim guanilat siklase sehingga terjadi akumulasi cGMP pada sel sehingga akan terjadi diare. Pada pemeriksaan histologis terdapat abses-abses kecil di daerah plaque Peyeri dan nodula limphatisi. Pada beberapa penderita menyebabkan limfadenitis mesenterikum dan ileutis.

Entamoeba histolytica
            Entamoeba histolytica tersebar di seluruh dunia. Insidensinya rendah dan sering terjadi overdiagnosis sehingga pengobatannya juga sering berlebihan (misalnya penggunaan enterovioform). Insidensi pembawa kista pada anak (carrier) sekitar 5% saja tetapi sebagian besar (90%) asimptomatik dan hanya sebagian kecil (10%) saja yang menjadi sakit. Diare biasanya berlendir disertai darah, terkenal dengan nama disentri amoeba. Gejalanya yang mencolok adalah tenesmusnya. Penularan biasanya melalui makanan atau air (minuman) yang tercemar oleh parasit Entamoeba histolytica, terkenal menyebabkan ulkus yang menggaung, dan dapat menyebabkan abses hati.

Cryptosporodium
            Cryptosporodium pada saat ini sedang populer dan dianggap sebagai penyebab diare terbanyak yang disebabkan oleh parasit. Dahulu dikenal hanya patogen pada binatang saja. Cryptosporodium merupakan golongan coccidium, sering menyebabkan diare pada manusia yang menderita imunodefisiensi, misalnya pada penderita AIDS. Di negara berkembang Cryptosporodium merupakan 4-11% penyebab diare pada anak. Penularan melalui oro-fekal dan biasanya diare bersifat akut. Mulainya karena terjadi kerusakan mukosa usus oleh perlekatan parasit pada mikrovilus enterosit, sehingga terjadi gangguan absorpsi makanan.

V. Patogenesis
Virus. Virus terbanyak penyebab diare adalah rotavirus, selain itu juga dapat disebabkan oleh adenovirus, enterovirus, astrovirus, minirotavirus, calicivirus, dan sebagainya. Virus masuk ke dalam traktus digestivus bersama makanan dan/atau minuman, kemudian berkembang biak di dalam usus. Setelah itu virus masuk ke dalam epitel usus halus dan menyebabkan kerusakan bagian apikal vili usus halus. Sel epitel usus halus bagian apikal akan diganti oleh sel dari bagian kripta yang belum matang, berbentuk kuboid atau gepeng. Akibatnya sel-sel epitel ini tidak dapat berfungsi untuk menyerap air dan makanan. Sebagai akibat lebih lanjut akan terjadi diare osmotik. Vili usus kemudian akan memendek sehingga kemampuannya untuk menyerap dan mencerna makananpun akan berkurang. Pada saat inilah biasanya diare mulai timbul. Setelah itu sel retikulum akan melebar, dan kemudian akan terjadi infiltrasi sel limfoid dari lamina propria, untuk mengatasi infeksi sampai terjadi penyembuhan (Sunoto, 1991).

Bakteri. Bakteri masuk ke dalam traktus digestivus, kemudian berkembang biak di dalam traktus digestivus tersebut. Bakteri ini kemudian mengeluarkan toksin yang akan merangsang epitel usus sehingga terjadi peningkatan aktivitas enzim adenili siklase (bila toksin bersifat tidak tahan panas, disebut labile toxin = LT) atau enzim guanil siklase (bila toksin bersifat tahan panas atau disebut stable toxin = ST). Sebagai akibat peningkatan aktivitas enzim-enzim ini akan terjadi peningkatan cAMP atau cGMP, yang mempunyai kemampuan merangsang sekresi klorida, natrium, dan air dari dalam sel ke lumen usus (sekresi cairan yang isotonis) serta menghambat absorpsi natrium, klorida, dan air dari lumen usus ke dalam sel. Kemudian akan terjadi hiperperistaltik usus untuk mengeluarkan cairan yang berlebihan di dalam lumen usus tersebut, sehingga cairan dapat dialirkan dari lumen usus halus ke lumen usus besar (kolon). Dalam keadaan normal, kolon seorang anak dapat menyerap sebanyak hingga 4400 ml cairan sehari, karena itu produksi atau sekresi cairan sebanyak 400 ml sehari belum menyebabkan diare. Bila kemampuan penyerapan kolon berkurang, atau sekresi cairan melebihi kapasitas penyerapan kolon, maka akan terjadi diare. Pada kolera sekresi cairan dari usus halus ke usus besar dapat mencapai 10 liter atau lebih sehari. Oleh karena itu diare pada kolera biasanya sangat hebat, suatu keadaan yang disebut sebagai diare profus (Sunoto, 1991).
Secara umum golongan bakteri yang menghasilkan cAMP akan menyebabkan diare yang lebih hebat dibandingkan dengan golongan bakteri lain yang menghasilkan cGMP. Golongan kuman yang mengandung LT dan merangsang pembentukan cAMP, diantaranya adalah V. Cholera, ETEC, Shigella spp., dan Aeromonas spp. Sedangkan yang mengandung ST dan merangsang pembentukan cGMP adalah ETEC, Campylobacter sp., Yersinia sp., dan Staphylococcus sp.

VI. Fisiologi Normal Usus
Penyerapan cairan di usus halus
            Dalam keadaan normal, usus halus mampu menyerap cairan sebanyak 7-8 liter sehari, sedangkan usus besar 1-2 liter sehari. Penyerapan air oleh usus halus ditentukan oleh perbedaan antara tekanan osmotik di lumen usus dan didalam sel, terutama yang dipengaruhi oleh konsentrasi natrium. Penyerapan natrium ke dalam enterosit dapat melalui tiga cara yaitu 1) berpasangan dengan ion klorida, atau bahan non-elektrolit seperti glukosa, asam amino, peptida, dll, 2) pertukaran dengan ion hidrogen, 3) pasif melalui ruang intraseluler (tight junction), yang dengan cara ini hanya sebagian kecil saja yang dapat diserap.
            Setelah masuk ke dalam enterosit , natrium ini akan dikeluarkan melalui enzim Na-K-ATPase (terdapat di membran basolateral) ke dalam ruang intraseluler dan selanjutnya diteruskan ke dalam pembuluh darah. Di dalam ileum dan kolon, cairan klorida diserap melalui pertukaran dengan cairan bikarbonat.
            Proses sekresi merupakan kebalikan dari proses absorpsi. Penyerapan pasangan NaCl akan meningkatkan anion klorida di dalam sel kripta dan pada waktu yang bersamaan natrium akan dikeluarkan dari sel kripta dengan bantuan enzim Na-K-ATPase. Sekresi klorida di dalam sel kripta dapat pula ditingkatkan dengan adanya intracellular messenger (berupa cyclic nucleotide, misalnya cAMP, cGMP, yang dapat menyebabkan peninggian permeabilitas sel kripta) sehingga klorida dengan mudah keluar ke lumen usus.
            Dalam keadaan normal usus besar dapat meningkatkan kemampuan penyerapannya sampai 4400 ml sehari, bila terjadi sekresi cairan yang berlebihan dari usus halus (ileosekal). Bila sekresi cairan melebihi 4400 ml maka usus besar tidak mampu menyerap seluruhnya lagi, selebihnya akan dikeluarkan bersama tinja dan terjadilah diare. Diare dapat juga terjadi karena terbatasnya kemampuan penyerapan usus besar pada keadaan sakit, misalnya kolitis, atau terdapat penambahan ekskresi cairan pada penyakit usus besar, misalnya karena virus, disentri basiler, ulkus, tumor, dsb. Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa setiap perubahan mekanisme normal absorpsi dan sekresi di dalam usus halus maupun usus besar (kolon), dapat menyebabkan diare, kehilangan cairan, elektrolit, dan akhirnya dehidrasi.

VII. Mekanisme Diare
            Menurut mekanisme terjadinya diare, maka diare dapat dibagi menjadi 3 bagian besar yaitu:
1)      Diare sekretorik
2)      Diare invasif/dysentriform diarrhae
3)      Diare osmotik

Diare Sekretorik
            Diare sekretorik adalah diare yang terjadi akibat aktifnya enzim adenil siklase. Enzim ini selanjutnya akan mengubah ATP menjadi cAMP. Akumulasi cAMP intrasel akan menyebabkan sekresi aktif ion klorida, yang akan diikuti secara pasif oleh air, natrium, kalium dan bikarbonat ke dalam lumen usus sehingga terjadi diare dan muntah-muntah sehingga penderita cepat jatuh ke dalam keadaan dehidrasi.
            Pada anak, diare sekretorik ini sering disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh mikroorganisme Vibrio, ETEC, Shigella, Clostridium, Salmonella, Campylobacter. Toksin yang dihasilkannya tersebut akan merangsang enzim adenil siklase, selanjutnya enzim tersebut akan mengubah ATP menjadi cAMP. Diare sekretorik pada anak paling sering disebabkan oleh kolera.
            Gejala dari diare sekretorik ini adalah 1) diare yang cair dan bila disebabkan oleh vibrio biasanya hebat dan berbau amis, 2) muntah-muntah, 3) tidak disertai dengan panas badan, dan 4) penderita biasanya cepat jatuh ke dalam keadaan dehidrasi.

Diare Invasif
            Diare invasif adalah diare yang terjadi akibat invasi mikroorganisme dalam mukosa usus sehingga menimbulkan kerusakan pada mukosa usus. Diare invasif ini disebabkan oleh Rotavirus, bakteri (Shigella, Salmonella, Campylobacter, EIEC, Yersinia), parasit (amoeba). Diare invasif yang disebabkan oleh bakteri dan amoeba menyebabkan tinja berlendir dan sering disebut sebgai dysentriform diarrhea.
            Di dalam usus pada shigella, setelah kuman melewati barier asam lambung, kuman masuk ke dalam usus halus dan berkembang biak sambil mengeluarkan enterotoksin. Toksin ini akan merangsang enzim adenil siklase untuk mengubah ATP menjadi cAMP sehingga terjadi diare sekretorik. Selanjutnya kuman ini dengan bantuan peristaltik usus sampai di usus besar/kolon. Di kolon, kuman ini bisa keluar bersama tinja atau melakukan invasi ke dalam mukosa kolon sehingga terjadi kerusakan mukosa berupa mikro-mikro ulkus yang disertai dengan serbukan sel-sel radang PMN dan menimbulkan gejala tinja berlendir dan berdarah.
            Gejala dysentriform diarrhea adalah 1) tinja berlendir dan berdarah biasanya b.a.b sering tapi sedikit-sedikit dengan peningkatan panas badan, tenesmus ani, nyeri abdomen, dan kadang-kadang prolapsus ani, 2) bila disebabkan oleh amoeba, seringkali menjadi kronis dan meninggalkan jaringan parut pada kolon/rektum, disebut amoeboma.
            Mekanisme diare oleh rotavirus berbeda dengan bakteri yang invasif dimana diare oleh rotavirus tidak berdarah. Setelah rotavirus masuk ke dalam traktus digestivus bersama makanan/minuman tentunya harus mengatasi barier asam lambung, kemudian berkembang biak dan masuk ke dalam bagian apikal vili usus halus. Kemudian sel-sel bagian apikal tersebut akan diganti dengan sel dari bagian kripta yang belum matang/imatur berbentuk kuboid atau gepeng. Karena imatur, sel-sel ini tidak dapat berfungsi untuk menyerap air dan makanan sehingga terjadi gangguan absorpsi dan terjadi diare. Kemudian vili usus memendek dan kemampuan absorpsi akan bertambah terganggu lagi dan diare akan bertambah hebat. Selain itu sel-sel yang imatur tersebut tidak dapat menghasilkan enzim disakaridase. Bila daerah usus halus yang terkena cukup luas, maka akan terjadi defisiensi enzim disakaridase tersebut sehingga akan terjadilah diare osmotik.
            Gejala diare yang disebabkan oleh rotavirus adalah 1) paling sering pada anak usia dibawah 2 tahun dengan tinja cair, 2) seringkali disertai dengan peningkatan panas badan dan batuk pilek, 3) muntah.

Diare Osmotik
            Diare osmotik adalah diare yang disebabkan karena tingginya tekanan osmotik pada lumen usus sehingga akan menarik cairan dari intra sel ke dalam lumen usus, sehingga terjadi diare berupa watery diarrhea. Paling sering terjadinya diare osmotik ini disebabkan oleh malabsorpsi karbohidrat.
            Monosakarida biasanya diabsorpsi baik oleh usus secara pasif maupun transpor aktif dengan ion Natrium. Sedangkan disakarida harus dihidrolisa dahulu menjadi monosakarida oleh enzim disakaridase yang dihasilkan oleh sel mukosa. Bila terjadi defisiensi enzim ini maka disakarida tersebut tidak dapat diabsorpsi sehingga menimbulkan osmotic load dan terjadi diare.
            Disakarida atau karbohidrat yang tidak dapat diabsorpsi tersebut akan difermentasikan di flora usus sehingga akan terjadi asam laktat dan gas hidrogen. Adanya gas ini terlihat pada perut penderita yang kembung (abdominal distention), pH tinja asam, dan pada pemeriksaan dengan klinites terlihat positif. Perlu diingat bahwa enzim amilase pada bayi, baru akan terbentuk sempurna setelah bayi berusia 3-4 bulan. Oleh sebab itu pemberian makanan tambahan yang mengandung karbohidrat kompleks tidak diberikan sebelum usia 4 bulan, karena dapat menimbulkan diare osmotik.
            Gejala dari diare osmotik adalah 1) tinja cair/watery diarrhae akan tetapi biasanya tidak seprogresif diare sekretorik, 2) tidak disertai dengan tanda klinis umum seperti panas, 3) pantat anak sering terlihat merah karena tinja yang asam, 4) distensi abdomen, 5) pH tinja asam dan klinitest positif. Bentuk yang paling sering dari diare osmotik ini adalah intoleransi laktosa akibat defisiensi enzim laktase yang dapat terjadi karena adanya kerusakan mukosa usus. Dilaporkan kurang lebih sekitar 25-30% dari diare oleh rotavirus terjadi intoleransi laktosa.

VIII. Penyulit Diare Akut
            Sebagai akibat dari diare akut tersebut diatas maka akan terjadi hal-hal sebagai berikut :
1)      Dehidrasi
2)      Gangguan keseimbangan elektrolit
3)      Gangguan asam basa
4)      Gangguan sirkulasi darah
5)      Hipoglikemia
6)      Gangguan gizi.

Dehidrasi dan gangguan keseimbangan elektrolit dan asam basa.
            Sebagai akibat diare adalah tubuh akan kehilangan cairan dan elektrolit yang dikenal dengan dehidrasi. Dehidrasi terjadi karena 1) hilangnya cairan melalui tinja atau muntah (concomitant water losses) selama diare/muntah berlangsung. Diperkirakan jumlahnya sekitar 25-30 ml/kgBB/24 jam, 2) kehilangan cairan melalui pernafasan, keringat, dan urin (insensible water losses), 3) besarnya jumlah kehilangan cairan (previous water losses).
            Kehilangan cairan yang normal (normal water losses) adalah banyaknya kehilangan cairan/elektrolit melalui pernafasan, keringat, urin, tergantung dari umur. Makin muda anak makin banyak kehilangan cairan dan makin bertambah umur makin berkurang Selain itu NWL juga dipengaruhi oleh suhu tubuh, makin tinggi suhu tubuh maka akan bertambah kehilangan cairannya. Setiap kenaikan suhu 1°C diatas normal (37°C) akan menambah hilangnya cairan sebanyak 10 ml.

Tabel 1. Penilaian Derajat Dehidrasi
Penilaian
A
B
C
1. Lihat :
    Keadaan umum
    Mata
    Air Mata
    Mulut dan Lidah
    Rasa Haus

Baik sadar
Normal
Ada
Basah
Minum biasa, tidak haus

*Gelisah rewel
Cekung
Tidak ada
Kering
*Haus ingin minum banyak

*Lesu/lunglai/tdk sadar
Sangat cekung, kering
Tidak ada
Sangat kering
*Malas minum/tdk bisa minum
2. Periksa Turgor Kulit
Kembali cepat
*Kembali lambat
*Kembali sangat lambat
3. Hasil Pemeriksaan
Tanpa dehidrasi
Dehidrasi Ringan/ Sedang
Bila ada 1 tanda * ditambah 1 atau lebih tanda lain
Dehidrasi Berat
Bila ada 1 tanda * ditambah 1 atau lebih tanda lain
4. Terapi
Rencana Terapi A
Rencana Terapi B
Rencana Terapi C

            Gejala dan tanda dari dehidrasi tersebut diatas adalah rasa haus, menurunnya turgor kulit, mukosa mulut kering, mata cekung, air mata tidak ada, ubun-ubun besar yang cekung pada bayi, oliguria yang dapat berlanjut menjadi anuria, hipotensi, takikardia, dan menurunnya kesadaran.

Gangguan keseimbangan elektrolit
            Tonisitas dari plasma sebagian besar ditentukan oleh natrium. Dehidrasi dapat dibagi menjadi 3 menurut tonisitas plasma yaitu :
1)      Dehidrasi isotonik/isonatremik bila kadar Na plasma 130-150 mEq/L. Dalam praktek di klinik dehidrasi inilah yang terbanyak.
2)      Dehidrasi hipotonik, bila Na plasma < 130 mEq/L.
3)      Dehidrasi hipertonik, bila Na plasma > 150 mEq/L.
            Selain perubahan kadar Na plasma juga kalium dapat mengalami perubahan karena kalium banyak keluar pada tinja. Pada diare biasa sebesar 26 mEq/L dan pada kolera 96 mEq/L sehingga dapat terjadi hipokalemia, namun penurunan kalium pada plasma ini biasanya akan diganti dengan kalium yang terdapat pada cairan intraseluler, dengan tentunya kadar kalium intraseluler akan menurun. Secara singkatnya maka gangguan elektrolit yang sering terjadi pada keadaan diare adalah hiponatremia (Na < 130mEq/L), hipernatremia (Na >150mEq/L), dan hipokalemia (K < 3 mEq/L).

Gangguan asam basa
            Akibat kehilangan cairan yang banyak pada diare tersebut diatas maka akan terjadi hemokonsentrasi/hipoksia. Akibat hipoksia maka jaringan akan terjadi metabolisme secara anaerobik yang akan menghasilkan produk asam laktat yang selanjutnya akan menyebabkan keadaan asidosis respiratorik/metabolik. Tanda-tanda asidosis tersebut dapat terlihat berupa pernafasan cepat dan dalam (Kussmaul).
            Akibat lain dari keadaan diare adalah keluarnya bikarbonat melalui tinja, akibatnya pH darah akan menurun bila badan tidak mengadakan koreksi dengan jalan mengeluarkan CO2 melalui paru-paru. Sebagai akibat diare yang hebat dan tubuh tidak sanggup mengadakan kompensasi lagi, maka terjadilah asidosis metabolik, dan mungkin akan diperberat lagi bila terjadi ketosis, oliguria atau anuria dan penimbunan asam laktat karena terjadinya hipoksia pada jaringan tubuh.

Gangguan sirkulasi
            Sebagai akibat kehilangan cairan tubuh lebih dari 10% berat badan (dehidrasi berat) akan terjadi gangguan sirkulasi dan dapat terjadi syok. Hal ini disebabkan cairan ekstraseluler banyak berkurang (hipovolemik) sehingga perfusi darah ke jaringan berkurang, dengan akibat hipoksia yang akan menambah beratnya asidosis metabolik, gagal ginjal pre renal, penurunan kesadaran, dan dapat menimbulkan kematian bila tidak segera ditangani dengan baik.

Hipoglikemia
            Hipoglikemia biasanya dapat terjadi pada anak yang menderita diare dan lebih sering lagi bila sebelumnya menderita gangguan gizi (KEP). Sebab yang pasti  belum diketahui tapi kemungkinanya adalah 1) gangguan proses glikogenolisis, 2) gangguan penyimpanan glikogen pada hati, 3) gangguan absorpsi dan digesti karbohidrat terutama pada KEP di mana terjadi atropi jonjor usus. Akibat dari hipoglikemia ini cairan ekstraseluler akan menjadi hipotonik dengan kompensasi air akan masuk ke dalam cairan intraseluler sehingga terjadi edema sel-sel otak yang dapat memberikan gejala penurunan kesadaran, kejang-kejang.

Gangguan gizi
            Gangguan gizi biasanya terjadi akibat diare dimana pemberian makanan selama sakit dihentikan. Selain itu akibat infeksi usus terjadi gangguan absorpsi terutama laktosa karena terjadinya defisiensi enzim laktase, akibatnya pemberian susu dengan laktosa tinggi akan menambah beratnya diare. Pada anak yang sebelumnya sudah menderita KEP akan memperberat keadaan KEP nya, yang dalam fase selanjutnya akan memperberat pula diarenya.

IX. Pemeriksaan Fisik
            Dari hasil pemeriksaan fisik pada penderita diare maka dapat ditemukan beberapa hal, antara lain adalah sebagai berikut ini :
1)      Dehidrasi. Dehidrasi merupakan hal yang utama sebagai penyebab kesakitan dan kematian, sehingga perlu dilakukan penilaian pada setiap pasien akan tanda, gejala, dan tingkat keparahan dehidrasinya. Letargi, penurunan kesadaran, ubun-ubun besar yang mencekung, membran mukosa yang mengering, mata cekung, turgor kulit yang menurun, dan terlambatnya capillary refill perlu dijadikan suatu hal yang patut dicurigai kearah dehidrasi.
2)      Gagal untuk tumbuh dan malnutrisi. Penurunan massa otot dan lemak atau terjadinya edema periferal dapat dijadiakan petunjuk bahwa terjadi malabsorpsi dari karbohidrat, lemak dan/atau protein. Organisme tersering yang dapat menyebabkan malabsorpsi lemak dan diare yang intermiten adalah Giardia sp.
3)      Nyeri perut. Nyeri perut yang nonspesifik dan nonfokal disertai dengan kram perut merupakan hal yang biasa terjadi pada beberapa organisme. Nyeri biasanya tidak bertambah bila dilakukan palpasi pada perut. Apabila terjadi nyeri perut yang fokal maka nyeri akan bertambah dengan palpasi, bila terjadi rebound tenderness, maka kita harus curiga terjadinya komplikasi atau curiga terhadap suatu diagnosis yang noninfeksius.
4)      Borborygmi. Merupakan tanda peningkatan aktivitas peristaltik usus yang menyebabkan auskultasi dan/atau palpasi yang meningkat dari aktivitas saluran pencernaan.
5)      Eritema perianal. Defekasi yang sering dapat menyebabkan kerusakan pada kulit perianal, terutama pada anak-anak yang kecil. Malabsorpsi karbohidrat yang sekunder seringkali merupakan hasil dari feses yang asam. Malabsoprsi asam empedu sekunder dapat menyebabkan dermatitis disekitar perianal yang sangat hebat yang seringkali ditandari sebagai suatu luka bakar.

X. Pemeriksaan Laboratorium
·         Feses : PH, leukosit (>5/LPB menunjukkan disentri), kultur, ELISA (untuk etiologi virus)
·         Darah: Untuk memeriksa kadar elektrolit dan asam basa

Tabel 2. Medium Kultur Bakteri yang Optimum
Organism
Detection Method
Microbiologic Characteristics
Aeromonas species
Blood agar
Oxidase-positive flagellated gram-negative bacillus (GNB)
Campylobacter species
Skirrow agar
Rapidly motile curved gram-negative rod (GNR); Campylobacter jejuni 90% and Campylobacter coli 5% of infections
C difficile
Cycloserine-cefoxitin-fructose-egg (CCFE) agar; enzyme immunoassay (EIA) for toxin; latex agglutination (LA) for protein
Anaerobic spore-forming gram-positive rod (GPR); toxin-mediated diarrhea; produces pseudomembranous colitis
C perfringens
None available
Anaerobic spore-forming GPR; toxin-mediated diarrhea
E coli
MacConkey eosin-methylene blue (EMB) or Sorbitol-MacConkey (SM) agar
Lactose-producing GNR
Plesiomonas species
Blood agar
Oxidase-positive GNR
Salmonella species
Blood, MacConkey EMB, xylose-lysine-deoxycholate (XLD), or Hektoen enteric (HE) agar
Nonlactose non–H2S-producing GNR
Shigella species
Blood, MacConkey EMB, XLD, or HE agar
Nonlactose and H2S-producing GNR; verotoxin (neurotoxin)
Vibrio species
Blood or thiosulfate-citrate-bile-salts-sucrose (TCBS) agar
Oxidase-positive motile curved GNB
Y enterocolitica
Cefsulodin-ingrasan-novobiocin (CIN) agar
Nonlactose-producing oval GNR

XI. Penatalaksanaan
            Karena kebanyakan dari diare ini adalah penyakit yang self-limiting, maka dalam pengelolaannya adalah bersifat suportif. Rehidrasi secara oral (OR) merupakan terapi utama bagi semua anak-anak yang menderita diare, jangan pernah untuk tidak memberikan OR bahkan bila anak tidak berada di dalam keadaan dehidrasi, karena pemeliharaan cairan dalam tubuh merupakan hal yang sangat penting. Neonatus dan bayi berada dalam kelompok risiko tinggi untuk mengalami komplikasi sekunder seperti dehidrasi berat dan gangguan elektrolit sehingga memerlukan pengawasan ketat. Jika perlu maka dapat dilakukan rehidrasi cairan secara intravena bila pemberian cairan secara oral tidak berhasil mengatasi keadaan. Tetapi sebagai patokan dalam pemberian cairan ini tetap mengacu kepada rencana terapi A, B, atau C. Cairan yang diberikan untuk rehidrasi idealnya memiliki osmolaritas yang rendah (210-250 mOsm) dan mengandung natrium sekitar 50-60 mmol/L.
            Pemberian obat antimotilitas tidak memiliki indikasi untuk diare. Terapi antimikroba juga dilakukan jika penyebab diarenya adalah non-virus, karena mengingat bahwa diare ini adalah penyakit yang dapat sembuh dengan sendirinya. Berikut tabel dibawah ini akan memperlihatkan terapi-terapi yang dapat diberikan untuk diare yang non-virus.

Terapi yang digunakan di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSHS :
Antidiare tidak diberikan dan Antibiotik digunakan hanya untuk :
·         Diare invasif : Kotrimoksasol 50 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 2 dosis selama hari.
·         Kolera : Tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 4 dosis selama 2-3 hari.
·         Amoeba, Giardia, Kriptosporodium : Metronidazol 30-50 mg/kgBB/hari, dibagi 3 dosis selama 5 hari (10 hari untuk kasus berat)

Diet : Sesuai dengan penyebab diare
·         Intoleransi karbohidrat : susu rendah sampai bebas laktosa
·         Alergi protein susu sapi : susu kedelai
·         Malabsorpsi lemak : susu yang mengandung medium chain trigliserid (MCT)
·         Apabila dengan terapi dietetik diatas tidak ada respons, gunakan susu protein hidroksilat.

Penyulit :
·         Dehidrasi
-          Tanpa dehidrasi                       : Rencana Terapi A
-          Dehidrasi ringan-sedang         : Rencana Terapi B
-          Dehidrasi berat                        : Rencana Terapi C
·         Gangguan elektrolit
-          Hiponatremia
Dapat diberikan larutan NaCl hipertonis 3 (13mEq/L) atau % (855mEq/L). Tetapi untuk mencapai kadar Na yang aman (125 mEq/L) maka Na yang dibutuhkan menurut rumus sebagai berikut ini : mEq Na = 12 – Na darah x 0.6 x BB(kg) diberikan dalam 4 jam.
-          Hipernatremia
Bila terjadi dehidrasi berat disertai syok/presyok maka berikan NaCl 0.9% atau RL atau Albumin 5%. Setelah syok teratasi lalu berikan larutan yang mengandung Na : 75-80 mEq/L, misalnya NaCl-dekstrosa (2A) atau DG half strength sampai ada diuresis kemudian berikan K 40 mEq/L.
-          Hipokalemia :
Bila kadar K darah < 2.5 mEq/L (dengan atau tanpa gejala) larutan KCl 3.75% i.v. dengan dosis 3- mEq/kgBB, maksimal 40 mEq/L.
Bila kadar K 2.5 – 3.5 mEq/L (dengan atau tanpa gejala), cukup diberikan K : 75 mg/kgBB/hari p.o. dibagi dalam 3 dosis.
-          Hiperkalemia :
Kadar K darah            Terapi
< 6 mEq/L                   Kayeksalat 1 g/kgBB p.o., dilarutkan dalam 2 ml/kgBB                                                       larutan sorbitol 70%.
Kayeksalat 1 g/kgBB enema, dilarutkan dalam 10 ml/kgBB larutan sorbitol 70% diberikan melalui kateter folley, diklem selama 30-60 menit.
6-7 mEq/L                   NaHCO3 7.5% dosis 3 mEq/kgBB secara i.v. atau 1 unit insulin/5 g glukosa
> 7 mEq/L                   Ca glukonas 10%, dosis 0.1-0.5 ml/kgBB i.v. dengan kecepatan 2 ml/menit
·         Gangguan keseimbangan asam-basa
-          Asidosis metabolik
Apabila kadar bikarbonat <22mEq/L dan kadar base excess (BE) tidak diketahui larutan bikarbonat 8.4% (1mEq = 1 ml) atau 7.5% (0.9 mEq = 1ml) sebanyak 2-4 mEq/kgBB.
Bila BE diketahui : mEq NaHCO3 = BE x BB x 0.3
-          Alkalosis metabolik
Tergantung derajat dehidrasi berikan NaCl 0.9%, 10-20ml/kgBB dalam 1 jam. Bila telah diuresis, dilanjutkan dengan cairan 0.45 NaCl atau 2,5% dekstrosa (2A) 40-80ml/kgBB + KCl 38 mEq/L dalam 8 jam.

XII. Penggunaan Probiotik
            Probiotik merupakan istilah yang digunakan untuk bakteri yang hidup di usus. Dalam pemberiannya, probiotik sering disertai dengan nutrisi yang dapat meningkatkan pertumbuhan bakteri tersebut, yang disebut prebiotik. Kompleks karbohidrat, lipid surfaktan dan glutamin sangat penting untuk pertumbuhan flora probiotik. Salah satu bahan makanan yang mengandung nutrisi tersebut adalah biji gandum.
            Probiotik sering digunakan dalam pencegahan maupun pengobatan diare akut pada anak serta infeksi Clostridium difficile, juga berguna dalam pengobatan ulkus peptikum yang disebabkan oleh Helicobacter pylorii. Bakteri tersebut (biasanya lactobacillus sp. dan bifidobacterium sp.) akan bermultiplikasi di dalam saluran pencernaan dan menghambat pertumbuhan bakteri yang patogen.
           Saluran pencernaan bagian bawah sangat membutuhkan probiotik dalam metabolisme nutrien-nutrien tertentu, antara lain asam lemak rantai pendek. Probiotik juga dapat meningkatkan imunitas dan mencegah kerusakan usus akibat bakteri patogen.
            Namun probiotik (lactobacillus sp.) juga mempunyai efek yang patogenik antara lain dapat menyebabkan karies dentis, sepsis, rheumatic vascular disease dan endokarditis. Pasien imunodefisiensi atau pasien yang tua dan mendapatkan terapi antibiotik spektrum yang luas sangat rentan terhadap komplikasi ini. Namun secara umum efek patogen dari probiotik cukup rendah.

XIII Prognosis












Daftar Pustaka

  1. Alfa, Yasmar. Tanpa tahun. Patogenesis dan Patofisiologi Diare. Bandung : SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD/RSHS.
  2. Alfa, Yasmar,dkk, 2005. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak Edisi 3 hal 271-302. SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD/RSHS.
  3. Depkes, 1999. Buku Ajar Diare. Jakarta
  4. Frye, Richard E. 2005. Diarrhea. Melalui <http://www.emedicine.com/> [22/12/05].
  5. Guyton, Arthur.C. & Hall, John E. 1996. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Terjemahan : Irawati Setiawan, dkk. Hal 1013-1049. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
  6. Karras,David. 2005. Diarrhea. Melalui <http://www.emedicinehealth.com/articles/5917-10.asp> [22/12/05].
  7. Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Edisi 3. hal 470-477. Jakarta : Media Aesculapius FKUI.
  8. Nguyen, David G. 2005. Pediatrics, Rotavirus. Melalui <http://www.emedicine.com/> [22/12/05]
  9. Shils,Maurice,dkk. 1999. Modern Nutrition In Health and Disease. 9 th Ed. USA: Lippincot William and Wilkins
  10. Suharyono,dkk. 2003. Gastroenterologi Anak Praktis. Jakarta : Balai Penerbitan FKUI
  11. Sunoto. 1991. Penyakit Radang Usus : Infeksi dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI editor A.H. Markum dkk. Hal 448-466. Jakarta : FKUI.

5 komentar:

Anonim mengatakan...

share ttg ARDS dong dok.. skalian sm daftar pustakanya.. ;)

Unknown mengatakan...

http://www.scribd.com/doc/45904255/makalah-ARDS

saya nda punya datanya.. maaf

Anonim mengatakan...

makasiy...

mau dikasih semangat dong dok biar saya belajarnya jd semangat juga.. :)

Unknown mengatakan...

jalanin aje.... yang namanye pendidikan pasti nda ada yang enaknye, tp itu proses buat keindahan.....
hahahahahahahahha

Anonim mengatakan...

okeh deyh dok.. yg penting tetep senyumlah yey.. ;-)