04/11/12

kejang demam anak dd epilepsi

I.                   DEFINISI
Konsesus The National Institute of Health (NIH) mendefinisikan kejang demam sebagai sebuah peristiwa pada masa bayi dan anak-anak yang biasanya terjadi antara usia 3 bulan dan 5 tahun, berhubungan dengan demam tetapi tanpa adanya bukti infeksi intrakranial atau penyebab kejang lainnya.(1)
The International League Against Epilepsy (ILAE) mendefinisikan kejang demam sebagai kejang yang terjadi pada masa anak-anak yang terjadi setelah usia satu bulan, berhubungan dengan demam yang tidak disebabkan oleh infeksi sistem saraf pusat, tanpa adanya kejang neonatal atau kejang tanpa sebab sebelumnya.(1)
Berdasarkan definisi diatas apat disimpulkan kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal) diatas 380C yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranial.(1) Kejang tidak disebabkan oleh infeksi intrakranial atau gangguan metabolik. Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan-5 tahun.(2) Usia onset puncak adalah 14-18 bulan.(3) Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali  tidak termasuk kedalam kejang demam. Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. (4) Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersamaan dengan demam.(5)
Sejarah keluarga kejang demam pada orang tua dan sepupu terdapat pada 25-40% anak dengan kejang demam. Hal ini menunjukkan adanya predisposisi genetik.(1, 3) Kejang demam biasa terjadi pada suhu > 38,4 C. Akan tetapi kejang demam yang terjadi pada suhu <38,9 C sering berupa kejang fokal atau sering berulang pada episode demam yang sama. (1)

II.                INSIDENSI
Insidensi kejang demam bervariasi pada antar negara. Penelitian di Eropa Barat dan USA melaporkan bahawa insidensi kumulatif berkisar antara 2-5%. Insidensi di india sekitar 5-10%, Jepang 8,8 % dan Afrika 14%. Data dari negara berkembang masih sangat terbatas, kemungkinan disebabkan oleh sulitnya membedakan antara kejang demam sederhana dan kejang yang disebabkan oleh infeksi seperti malaria falciparum.(1)


III.             KLASIFIKASI(4)
1.      Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)
Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam 24 jam.(6) Kejang demam sederhana merupakan 80% diantara seluruh kejang demam.(6)
2.      Kejang demam kompleks (complex febrile seizure)
Kejang lama berlangsung > 15 menit. Kejang fokal/ parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial. Kejang berulang lebih dari 1x dalam 24 jam.(7) Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi atau kejang umum yang yang didahului kejang parsial.(8)
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang lama dapat terjadi pada 8% kejang demam.(3) Kejang demam lama (merupakan bagian dari kejang demam kompleks) terjadi pada 25% kasus status epilepticus pada anak. (1)
Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, diantara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% diantara anak yang mengalami kejang demam.(9)

IV.             PATOGENESIS
Terdapat 3 faktor yang berinteraksi dan menyebabkan kejang demam yaitu : demam, predisposisi genetik dan otak yang immature. Terdapat interaksi antara faktor toksin yang bersirkulasi, produk reaksi imun, dan invasi virus atau bakteri pada SSP, bersamaan dengan kurangnya myelinasi pada otak yang immature dan peningkatan konsumsi oksigen pada saat demam. (4) Hasil penelitian pada hewan coba menunjukkan bahwa pyrogen endogen seperti interleukin 1 dapat mempengaruhi eksitabilitas sel saraf pada saat demam dan menyebabkan kejang. (1)
Pola penurunan secara autosomal dominan dapat dilihat pada beberapa keluarga.(3) Penelitian telah memetakan gen kejang demam pada kromosom 19 p dan 2q, berhubungan dengan gen yang mengkode reseptor kanal natrium, terdapat mutasi pada subunit alfa gen pertama yang mengkode kanal natrium neuron (SCNIA). Mutasi ini berhubungan dengan kejadian kejang demam, epilepsi umum (tonik-klonik, abens, dan myoklonik), dan berlangsungnya kejang demam setelah usia 5 tahun (GEFS +).(1)
Kejang demam jarang terjadi setelah usia 4-5 tahun, diperkirakan terdapat hubungan yang erat dengan proses maturitas otak yaitu dengan meningkatnya myelinasi, kematian kembali kelebihan neuron dan meningkatnya kompleksitas pada sinap saraf otak.(4) Otak yang sedang berada dalam masa perkembangan lebih rentan untuk mengalami kejang tertentu. Ketidakmatangan mekanisme thermoregulasi dan keterbatasan kapasitas untuk meningkatkan metabolisme energi seluler pada peningkatan suhu saat demam berkontribusi dalam pembentukan kejang demam.(4) Diperkirakan juga maturitas fungsional substantia nigra berperan pada peningkatan kerentanan kejang pada otak yang immature. Neuron pada pars reticulata di substantia nigra yang sensitif terhadap asam γ-aminobutyric (GABA) berperan penting dalam mencegah kejang.(3)
Untuk menginisiasi kejang, terdapat sekelompok neuron yang dapat menghasilkan keluaran signifikan dan sistem inhibisi GABA. Kejang tergantung pada transmisi dalam sinaps eksitasi glutamanergic. Bukti menunjukkan bahwa neurotransmiter eksitatory (glutamat dan aspartat) berperan dalam menghasilkan eksitasi neuron melalui ikatanya dengan reseptor yang spesifik. Kejang dapat berasal dari area kematian saraf, pada area ini otak merangsang terbentuknya sinaps hipereksitasi yang dapat menyebabkan kejang. Lebih jauh lagi, kejang dapat dihasilkan pada binatang eksperimen melalui stimulasi subkonvulsif berulang pada otak (misal pada amygdala) menyebabkan terjadinya kejang umum. Pada manusia, dianggap aktivitas kejang berulang dari lobus temporal abnormal dapat menghasilkan kejang pada kontralateral lobus temporal yang normal akibat transmisi stimulus melalui corpus kalosum.(3)
Penyebab demam pada anak dengan kejang demam sederhana bervariasi, diantaranya : infeksi saluran pernafasan atas atau faringitis (38%), otitis media (23%), pneumonia (15%), gastroenteritis (7%), roseola infantum (5%), and noninfectious illness (12%).(4)

V.                DIAGNOSIS
Anamnesis riwayat penyakit yang detail termasuk sejarah keluarga dengan kejang demam, sejarah keluarga dengan epilepsi, dan kematian mendadak pada keluarga harus ditanyakan pada anak dengan kejang demam.(1)
Pemeriksaan fisik ditujukan untuk mencari tanda-tanda meningitis, adanya defisit neurologis, asimetris, atau stigmata kelainan neurokutaneous dan ganggauan metabolik. Hasil pengukran lingkar kepala dapat menjadi informasi penting.(1)
Meskipun jarang, kejang demam dapat merupakan tanda pertama penyakit metabolik (seperti mitochondrial cytopathy termasuk ‘‘Leigh’s syndrome’’ atau degenerasi progresif saraf pada masa kanak-kanak), penyakit inflamasi (misalnya, Rasmussen’s encephalitis), atau tanda sindroma epilepsy maligna (misalnya, severe myoclonic epilepsy pada bayi). Kemungkinan adanya gangguan metabolik diperoleh dari anamnesis dan pemeriksaan (misalnya regresi perkembangan, sejarah kematian bayi/ anak mendadak pada keluarga, gagal tumbuh, hepatosplenomegaly, mikro-sefal dan makro-sefal), jika ditemukan hal ini, anak sebaiknya dirujuk ke spesialis neuropediatrik.(1)
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah.(10, 11) Pemeriksaan CBC dapat digunakan dalam mengevaluasi penyebab demam terutama pada anak berumur kurang dari 2 tahun, meskipun insidensi bakteremia pada anak < 2 tahun dengan atau tanpa kejang demam adalah sama. Pengukuran kadar glukosa darah dilakukan jika anak mengalami periode obtundasi post-iktal yang berkepanjangan.(11) Kada serum natrium kurang dari 135 umol/l berhubungan dengan kejang demam berulang.(4)
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Sekitar 13-15% anak dengan meningitis memiliki keluhan utama kejang, dan 30-35% anak dalam kelompok ini tidak menunjukkan tanda adanya rangsang meningen.(11,12) Pada bayi seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis karena sebelum usia 2 tahun gejala fotofobia dan rangsang meningen sulit didapatkan.(1) Oleh karena itu pungsi lumbal dianjurkan pada :(11, 12)
1.      Bayi kurang dari 12 bulan : sangat dianjurkan untuk dilakukan
2.      Bayi antara 12-18 bulan : dianjurkan untuk dilakukan
3.      Bayi lebih dari 18 bulan : tidak rutin dilakukan, hanya jika terdapat tanda rangsang meningen.
Pemeriksaan cairan serebrospinal yang abnormal sering ditemukan pada kasus : (11)
a.       Pemeriksaan fisis/ neurologis yang abnormal (rangsang meningen)
b.      Kejang demam kompleks
c.       Riwayat kunjungan ke dokter dalam 48 jam sebelum kejang
d.      Kejang masih berlangsung pada saat tiba di unti gawat darurat
e.       Fase post-iktal yang lama
f.       Kejang pertama setelah usia 3 tahun
Pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang demam. Oleh karenanya tidak direkomendasikan untuk dilakukan. (11, 13) Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam yang tidak khas. Misalnya : kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun, atau kejang demam fokal.(5)
Foto X ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan (CT Scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak rutin dan hanya dilakukan atas indikasi seperti :(1, 4, 14)
1.      Kelainan neurologik fokal yang menetap (misalnya : hemiparesis, paresis N VI)
2.      Papiledema
3.      Gangguan perkembangan
4.      Lesi neurokutaneous
5.      Ukuran kepala yang abnormal : mikro/ makrosefal
6.      Defisit neurologis post-iktal yang menetap beberapa jam setelah episode kejang
7.      Kejang demam kompleks yang berulang
8.      Terdapat keraguan kejang disebabkan oleh demam
Berikut ini adalah algoritma evaluasi neurodiagnostik pada anak dengan kejang demam sederhana pertama :

VI.             PENATALAKSANAAN
Anak dengan kejang demam sederhana biasanya tidak dirawat inap, anak hanya diobservasi selama beberapa jam, anak dapat dipulangkan setelah yakin ada pengasuh yang dapat mengawasinya selama berada di rumah. Kejang demam tipe kompleks atau atipikal memiliki resiko adanya kelainan patologis, dan mengindikasikan dilakukan perawatan untuk observasi dan terapi lebih lanjut.(1)
Selama evaluasi akut, tugas utama dokter adalah untuk menentukan penyebab demam dan menyingkirkan adanya meningitis.(3) 15% anak dengan meningitis akan mengalami kejang. Pada anak besar (>1 tahun), dapat ditemukan sekit kepala dan tanda-tanda kaku kuduk. Pada anak-anak yang sebelumnya telah diterapi dengan antibiotik, gejala infeksi SSP dapat tertutupi.(4)  Harus difikirkan kemungkinan viral meningoencephalitis yang disebabkan oleh herpes simplex. Infeksi virus saluran pernafasan bagian atas, roseola, dan otitis media akut adalah penyebab kejang demam tersering. (3)

6.1              Penatalaksanaan Saat Kejang
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang kejang sudah berhenti. Apabila pasien datang dalam keadaan kejang, obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Dosis diazepam  intravena adalah 0,3-0,5 mg/ Kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/ menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg.(6)
Obat praktis yang dapat diberikan oleh orang tua dirumah adalah diazepam rektal. (6, 15, 16) Efek samping berupa depresi pernafasan jarang ditemukan bila diberikan secara rectal.(2) Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/ kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan < 10 Kg dan 10 mg untuk anak dengan berat badan > 10 Kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibwah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak diatas usia 3 tahun. (6, 15, 16)
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, pasien dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg. Bila kejang tetap belum berhanti diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal 10-20 mg/ Kg/ kali dengan kecepatan 1 mg/ Kg/ menit atau kurang dari 50 mg/ menit. Bila kejang berhenti, dosis selanjutnya diberikan 12 jam setelah dosis awal dengan dosis 4-8 mg/ kg/ hari. Bila dengan pemberian fenitoin kejang masih belum berhenti pasien harus dirawat di ruang intensif.(1, 17)
Lorazepam tidak dianjurkan sebab meskipun digunakan secara rektal, memerlukan waktu hingga 45 menit untuk di absorbsi.(34)

6.2              Penatalaksanaan Demam
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi resiko terjadinya kejang demam. Namun antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-15 mg/ kg/ kali, diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Ibuprofen dapat diberikan dengan dosis 5-10 mg/ kg/ kali, diberikan 3-4 kali sehari.(5, 18, 19, 20)
Asam asetilsalisilat dapat menyebabkan sindrome reye terutama pada anak kurang dari 18 bulan, sehingga penggunaanya tidak dianjurkan.(5)
Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/ Kg setiap 8 jam pada saat demam dapat menurunkan resiko berulangnya kejang pada 30-60% kasus. Begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/ kg setiap 8 jam pada suhu > 38,5 C. (19, 21, 22) Diazepam diberikan selama durasi penyakit (sekitar 2-3 hari).(3) Namun, pada dosis yang cukup tinggi dapat menyebabkan ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25-39 % kasus. (19, 21, 22)
Diazepam sering diberikan pada anak dengan ambang batas kejang demam yang sangat rendah terutama jika kejang terjadi secara berulang dan berlangsung lama. Diazepam diberikan secara rektal pada saat :(1)
-          Saat anak demam sebelum kejang
-          Secepatnya setelah anak kejang
Fenobarbital, carbamazepin, dan fenitoin pada saat demam tidak berguna untuk mencegah kejang demam.(6)

6.3              Obat Rumatan
Pengobatan rumatan hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan salah satu ciri sebagai berikut :(5, 23)
1.      Kejang lama berlangsung > 15 menit
2.      Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang. (Misalnya : hemiparesis, Paresis Todd, cerebral palsy, retardasi mental, hidrosefalus)
3.      Kejang fokal. Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak mempunyai fokus organik.
Pengobatan rumatan dipertimbangkan bila : (5,23)
a.       Kejang berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam
b.      Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan
c.       Kejang demam > 4 kali per tahun.
Kelainan neurologis yang tidak nyata misalnya keterlambatan perkembangan ringan bukan merupakan indikasi pengobatan rumatan. (5)
Jenis antikonvulsan yang digunakan untuk pengobatan rumatan adalah asam valproat dan fenobarbital. Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam menurunkan resiko berulangnya kejang.(24, 25) Namun pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan prilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Pada sebagian kecil kasus, terutam yang berumur kurang dari 2 tahun, asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping, maka pengobatan rumatan hanya diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek.(23, 26, 27)
Obat rumatan pilihan pada saat ini adalah asam valproat. Dosis asam valproat adalah 15-40 mg/ kg/ hari dinagi dalam 2-3 dosis. Fenobarbital juga dapat diberikan dengan dosis 3-4 mg/ kg/ hari dibagi dalam 1-2 dosis.(23, 26, 27) Pengobatan rumatan diberikan hingga 1 tahun bebas kejang, kemudian obat dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan. (1, 27)

6.4              Edukasi
Kejang merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Kecemasan ini dapat dikurangi dengan memberikan penjelasan, diantaranya : (1, 14)
1.      Meyakinkan bahwa kejang demam sederhana sering terjadi dan mempunyai prognosis yang baik
2.      Memberitahukan cara penanganan kejang. Terdapat beberapa hal yang harus dilakukan bila anak kembali kejang : (17)
a.       Tetap tenang dan tidak panik
b.      Kendorkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher
c.       Bila tidak sadar, pastikan anak tidur terlentang dengan kepala miring.
d.      Bersihkan muntahan atau lendir di mulut dan hidung.
e.       Walaupun ada kemungkinan lidah tergigit, jangan memasukkan sesuatu ke dalam mulut.
f.       Ukur suhu tubuh, observasi bentuk kejang dan lama waktu kejang
g.      Tetap berada bersama pasien selama kejang
h.      Berikan diazepam rektal. Diazepam tidak diberikan bila kejang telah berhenti.
i.        Bawa ke dokter/ rumah sakit bila kejang berlangsung lebih dari 5 menit.
3.      Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
4.      Memberitahu bahwa resiko kerusakan otak dan perkembangan menjadi epilepsi sangat kecil
5.      Pemberian obat-obatan memang efektif untuk mencegah rekurensi kejang tetapi harus diingat adanya efek samping obat.

6.5              Vaksinasi
Kejang dapat terjadi setelah imunisasi dengan vaksin whole cell diphtheria-pertussis-tetanus dan vaksin measles, namun hal ini bukan merupakan efek dari komponen vaksin. Perjalanan kejang secara klinis sangat identik dengan kejang demam, sehingga disebut sebagai kejang demam. Frekuensi kejang demam pada vaksin DPT atau measles adalah 6-9 dan 24-25 per 100.000 anak setelah divaksinasi. Vaksin pertusis acellular baru tidak menyebabkan demam, sehingga imunisasi dengan vaksin ini tidak menyebabkan kejang demam.(4) Tidak ada kontraindikasi untuk melakukan vaksinasi terhadap anak yang mengalami kejang demam.(17)
Kejang setelah demam karena vaksinasi sangat jarang. Angka kejadian pasca vaksinasi DPT  adalah 6-9 kasus/ 100.000 anak yang divaksinasi. Sedangkan angka kejadian pasca vaksinasi MMR adalah 25-34/ 100.000 anak. Dianjurkan untuk memberikan diazepam rektal atau oral bila anak demam, terutama setelah vaksinasi DPT atau MMR. Beberapa dokter merekomendasikan pemberian parasetamol pada saat vaksinasi hingga 3 hari kemudian.(17)



VII.          PROGNOSIS
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan.(28, 29) Kematian karena kejang demam tidak pernah dilaporkan.(30) Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal. Penelitian retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus, biasanya terjadi pada kejang lama atau kejang berulang baik umum maupun fokal.(28, 29)
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor resiko berulangnya kejang demam adalah :(4, 31,32,33)
1.      Riwayat kejang demam dalam keluarga
2.      Usia kurang dari 12 bulan
3.      Temperatur yang rendah saat kejang
4.      Cepatnya kejang setelah demam
5.      Kejang demam kompleks
Bila terdapat seluruh faktor diatas, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah 80%. Sedangkan bila tidak terdapat salah satu faktor diatas, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah 10-15%. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar pada satu tahun pertama setelah kejang. (4, 31, 32, 33)
Anak dengan kejang demam sederhana memiliki resiko yang sama untuk mengalami epilepsi sebelum usia 7 tahun dengan populasi umum yaitu 1%.(2) Faktor resiko terjadi epilepsi meningkat di kemudian hari apabila :(8, 9)
a.       Kelainan neurologis atau gangguan perkembangan yang jelas sebelum kejang pertama
b.      Kejang demam kompleks
c.       Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung
d.      kejang demam sederhana sebelum usia 9 bulan(3)
Masing-masing faktor resiko meningkat kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4-6%. Kombinasi dari faktor resiko tersebut meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10-49 %. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumatan pada kejang demam.(8, 9)



VIII.       DAFTAR PUSTAKA

  • 1.      Waruiru C, Appleton R. Febrile seizures : an update. Arch Dis Child. 2004
  • 2.      AAP. Febrile Seizure : Clinical Practice Guideline for the Longterm Management of the Child with Simple Febrile Seizures. Provisional Committee on Quality Improvement Pediatrics. 1996
  • 3.      Nelson KB, Ellenberg JH. Febrile Seizure. Pediatric 2003.
  • 4.      Camfield C, Camfield P, Shellhaas R. Febrile seizures. ILAE : Commission on Epidemiology and Prognosis. Epilepsia. 2005
  • 5.      Pusponegoro HD, Widodo DP, Ismael S. Konsesus Penatalaksanaan Kejang Demam. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2006
  • 6.      Baram TZ, Shinnar S, eds. Febrile Seizure. San Diego : Academic Press 2002.
  • 7.      Berg AT, Shinnar S. Complex febrile seizure. Epilepsia 1996
  • 8.      Annegers JF, Hauser W, Shirts SB, Kurland LT. Factors prognostic of unprovoked seizures after febrile convulsions. NEJM 1987.
  • 9.      Swaiman KS, Ashwal S, eds. Pediatric Neurology Principles and Practices. St Lois : Mosby 1999.
  • 10.  Gerber dan Berliner. The child with a simple febrile seizure. Appropriate diagnostic evaluation. Arch Dis Child 1981.
  • 11.  AAP, The neurodiagnostic evaluation of the child with a first simple febrie seizure. Pediatr 1996.
  • 12.  Baumer JH. Evidence based guideline for post seizure management in children presenting acutely to secondary care. Arch Dis Child 2004.
  • 13.  Millichap JG. Management of febrile seizure : current concepts and recommendations for phenobarbital and electroencephalogram. Clin Electroencephalogr 1991
  • 14.  Wong V. Clinical guideline on management of febrile convulsion. HK J Pediatr 2002.
  • 15.  Knudsen FU. Rectal administration of diazepamin solution in the acute treatment of convulsion in infants and children. Arch Dis Child 1979.
  • 16.  Dieckman J. Rectal diazepam for prehospital status epilepticus. An Emerg Med 1994
  • 17.  Fukuyama Y. Practical guideline for physician in the management of febrile seizure. Brain Dev 1996.
  • 18.  Camfield PR. The first febrile seizure- Antipyretic instruction plus either phenobarbital or placebo to prevent recurence. J Pediatr 1980
  • 19.  Uhari M. Effect of acetaminophen and low intermittent doses of diazepam on prevention of recurences of febrile seizure. J Pediatr 1995.
  • 20.  Van Esch A. Antipyretic efficacy of ibuprofen and acetaminophen in children with febrile seizures. Arch Pediatr Adolesc Med. 1995
  • 21.  Rosman NP. A controlled trial of diazepam administered during febrile illness to prevent recurences of febrile seizures. NEJM 1993
  • 22.  Knudsen FU. Intermitten diazepam prophylaxis in febrile convulsions : Pros and cos. Acta Neurol Sacnd 1991
  • 23.  AAP. Practice parameter : Longterm treatment of the child with simple febrile seizures. Pediatr 1999.
  • 24.  Mamelle C. Prevention of recurent febrile convulsion- a randomized therapeutic assay : sodium valproate, phenobarbital and placebo. Neuropediatric 1984
  • 25.  Farwell JR. Phenobarbital for febrile seizure effects on intelligence and on seizure reccurence. NEJM 1990.
  • 26.  AAP. Committee on drugs. Behavioral and cognitive effects of anticonvulsant therapy. Pediatr 1995.
  • 27.  Knudsen FU. Febrile seizure – treatment and outcome. Epilepsia 2000.
  • 28.  Ellenberg JH, Nelson KB. Febrile seizure and later intelectual performance. Arch neurol 1978.
  • 29.  Maytal, Shinnar S. Febrile status epilepticus. Pediatr 1990.
  • 30.  National Institutes of Health. Febrile seizuren: consesu development ceonference summary. Vol 3 no 2.
  • 31.  Berg AT. Predictors of reccurent febrile seizure : a prospective study of the circumstances surrounding the initial febrile seizure. NEJM 1992
  • 32.  Annegers JF. Reccurence of febrile convulsion in a population based cohort. Epilepsy res 1990
  • 33.  Knudsen FU. Reccurence risk after first febrile seizure and effect short term diazepam prophylaxis. Arch Dis Child 1996
  • 34.  Kutscher ML. Can Seizures Be the Sole Manifestation of Meningitis in Febrile Children? New York Medical College. 1993

Tidak ada komentar: