10/07/13

preeklamsi pada kehamilan



DEFINISI
Preeklampsia – termasuk eklampsia – adalah penyakit hipertensi yang khas dalam kehamilan dengan gejala utama adalah hipertensi akut pada ibu hamil dan dalam masa nifas. Disamping hipertensi akut, proteinuria juga merupakan gejala penting dan diagnosa preeklampsia akan sulit ditegakkan jika gejala ini tidak ditemukan ().

ETIOLOGI
Sampai saat ini penyebab dari pre eklamsia dan eklamsia belum diketahui telah banyak teori tetapi belum dapat memberikan penjelasan yang memuaskan. Teori yang berkembang dewasa ini yang dikemukakan sebagai sebab pre eklamsia dan eklamsia ialah iskemia plasenta. Teori ini belum dapat menjelaskan semua hal yang berhubungan dengan pre eklamsia dan eklamsia karena dalam penyakit ini sukar menentukan hubungan sebab dan akibatnya.
INSIDENSI DAN FAKTOR RISIKO
Insidensi preeklampsia secara umum dinyatakan sekitar 5% meskipun terdapat beberapa laporan yang bervariasi. Tingkat insidensi ini sangat dipengaruhi oleh paritas dan berhubungan dengan ras, etnis, predisposisi genetik serta faktor lingkungan. Sekitar 7,6% dari ibu nullipara ditemukan menderita preeklampsia dan 3,3% dari kelompok tersebut berkembang menjadi preeklampsia berat (Hauth dkk, 2000). Insidensi ini lebih besar daripada ibu multipara.
Faktor lain yang bisa meningkatkan resiko terjadinya preeklmpsia adalah; kehamilan multipel, riwayat hipertensi kronik, usia diatas 35 tahun, dan berat badan yang berlebihan selama kehamilan, serta ibu dengan kehamilan kembar (Conde-Agudelao dan Belizan, 2000; Sibai dkk, 1997, 2000; Walker, 2000). Suatu hal yang menjadi ironi adalah penurunan resiko terjadinya hipertensi dalam kehamilan pada ibu hamil yang merokok meskipun rokok diketahui banyak dihubungkan dengan gangguan pada kehamilan (Zhang dkk, 1999). Plasenta previa juga dinyatakan dapat menurunkan resiko terjadinya hipertensi dalam kehamilan (Anath dkk, 1997).

PATOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
Preeklampsia merupakan sindroma penurunan perfusi darah organ akibat dari vasospasme dan aktivasi endotelial yang spesifik ditemukan pada masa kehamilan.
Walaupun etiologinya belum jelas, banyak para ahli sepakat bahwa vasopasme merupakan proses awal dari terjadinya penyakit ini. Gambaran patologis pada fungsi beberapa organ dan sistem, yang kemungkinan disebabkan oleh vasospasme dan iskemia, telah ditemukan pada kasus-kasus preeklampsia dan eklampsia berat.
Vasospasme bisa merupakan akibat dari kegagalan invasi trofoblas ke dalam lapisan otot polos pembuluh darah, reaksi imunologi, maupun radikal bebas. Semua ini akan menyebabkan terjadinya kerusakan/jejas endotel yang kemudian akan mengakibatkan gangguan keseimbangan antara kadar vasokonstriktor (endotelin, tromboksan, angiotensin, dan lain-lain) dengan vasodilatator (nitritoksida, prostasiklin, dan lain-lain). Selain itu, jejas endotel juga menyebabkan gangguan pada sistem pembekuan darah akibat kebocoran endotelial berupa konstituen darah termasuk platelet dan fibrinogen.
Vasokontriksi yang meluas akan menyebabkan terjadinya gangguan pada fungsi normal berbagai macam organ dan sistem. Gangguan ini dibedakan atas efek terhadap ibu dan janin, namun pada dasarnya keduanya berlangsung secara simultan. Gangguan ibu secara garis besar didasarkan pada analisis terhadap perubahan pada sistem kardiovaskular, hematologi, endokrin dan metabolisme, serta aliran darah regional. Sedangkan gangguan pada janin terjadi karena penurunan perfusi uteroplasenta.

Kardiovaskular
Gangguan berat pada fungsi kardiovaskular sering ditemukan pada kasus-kasus preeklampsia atau eklampsia. Gangguan tersebut pada dasarnya berhubungan dengan peningkatan afterload yang diakibatkan oleh hipertensi dan aktivasi endotelial berupa ekstravasasi cairan ke ruang ekstraselular terutama di paru-paru.

Hemodinamik
Dibandingkan dengan ibu hamil normal, penderita preeklampsia atau eklampsia memiliki peningkatan curah jantung yang signifikan pada fase preklinik, namun tidak ada perbedaan pada tahanan perifer total. Sedangkan pada stadium klinik, pada kasus preeklampsia atau eklampsia terjadi penurunan tingkat curah jantung dan peningkatan tahanan perifer total yang signifikan dibandingkan dengan kasus normal.

Volume darah
Hemokonsentrasi adalah pertanda penting bagi terjadinya preeklampsia dan eklampsia yang berat. Pitchard dkk (1984) melaporkan bahwa pada ibu hamil dengan eklampsia tidak terjadi hipervolemia seperti yang diharapkan. Pada seorang wanita dengan usia rata-rata, biasanya terjadi peningkatan volume darah dari ± 3500 mL saat tidak hamil menjadi ± 5000 mL beberapa minggu terakhir kehamilan. Dalam kasus eklampsia, peningkatan volume ± 1500 mL ini tidak ditemukan. Keadaan ini kemungkinan berhubungan dengan vasokonstriksi luas yang diperburuk oleh peningkatan permeabilitas vaskular. 

Hematologi
Abnormalitas hematologi ditemukan pada beberapa kasus hipertensi dalam kehamilan. Diantara abnormalitas tersebut bisa timbul trombositopenia, yang pada suatu waktu bisa menjadi sangat berat sehingga dapat menyebabkan kematian. Penyebab terjadinya trombositopenia kemungkinan adalah peningkatan produksi trombosit yang diiringi oleh peningkatan aktivasi dan pemggunaan platelet. Kadar trombopoeitin, suatu sitokin yang merangsang proliferasi platelet, ditemukan meningkat pada kasus preeklampsia dengan trombositopenia (Frolich dkk, 1998). Namun, aggregasi platelet pada kasus preeklampsia lebih rendah dibandingkan dengan kehamilan normal (Baker dan Cunningham, 1999). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh “kelelahan” platelet akibat aktivasi in vivo. Selain itu, juga ditemukan penurunan dari faktor-faktor pembekuan plasma dan kerusakan eritrosit sehingga berbentuk bizzare dan mudah mengalami hemolisis akibat vasospasme berat.
Gambaran klinis preeklampsia dengan trombositopenia ini akan semakin buruk bila juga ditemukan gejala peningkatan enzim hepar. Gangguan ini dikenal dengan HELLP syndrome, yang terdiri dari hemolysis (H), elevated liver enzymes (EL), dan low platelet (LP).

Endokrin Dan Metabolisme
Kadar renin, angiotensin, dan aldosteron plasma meningkat pada kehamilan normal. Namun pada kasus hipertensi dalam kehamilan terjadi penurunan dari kadar ini dibandingkan dengan kehamilan normal (Weir dkk, 1983).

Renal
Pada kasus preeklampsia, terjadi penurunan aliran darah ginjal sehingga terjadi penurunan laju filtrasi glomerolus dibandingkan dengan kehamilan normal. Pada ginjal juga terjadi perubahan anatomis berupa pembesaran glomerolus sebesar 20% (Sheehan, 1950).

Otak
Secara patologi anatomi, pada kasus preeklampsia maupun eklampsia, manifestasi sistem saraf  pusat yang terjadi disebabkan oleh lesi pada otak berupa edema, hiperemia, dan perdarahan. Sheehan (1950) meneliti otak postmortem 48 orang ibu hamil yang meninggal dengan eklampsia dan ditemukan perdarahan mulai dari perdarahan ptekie sampai masif pada 56% kasus. Keadaan yang selalu ditemukan pada kasus preeklampsia maupun eklampsia dengan manifestasi neurologis adalah perubahan fibrinoid pada dinding pembuluh darah otak.

Perfusi Uteroplasenta
Gangguan perfusi uteroplasenta akibat vasospasme hampir dapat dipastikan merupakan penyebab tingginya angka mortalitas dan morbiditas pada kasus preeklampsia. Brosens dkk (1972) melaporkan bahwa diameter rata-rata arteriol spiral miometrium dari 50 ibu dengan kehamilan normal adalah 500 µm. Dengan pemeriksaan yang sama pada 36 ibu dengan preeklampsia ditemukan diameter rata-ratanya adalah 200 µm.

KLASIFIKAS PREEKLAMSIA:

Kriteria minimum;
  • Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg setelah kehamilan 20 minggu
  • Proteinuria ≥ 300 mg/24 jam atau ≥ +1 dipstick
Kriteria yang meningkatkan derajat kepastian terjadinya preeklampsia;
  • Tekanan darah ≥ 160/110 mmHg
  • Proteinuria 2000 mg/24 jam atau ≥ +2 dipstick
  • Kreatinin serum ≥ 1,2 mg/dL kecuali sudah diketahui sudah meningkat sebelum kehamilan
  • Trombosit > 100.000/mm3
  • Hemolisis mikroangiopati (penigkatan LDH)
  • Penigkatan ALT atau AST
  • Nyeri kepala, gangguan serebral dan visus yang persisten
  • Nyeri epigastrium yang persisten

Bila pada kasus preeklampsia sudah ditemukan kejang dan atau koma, maka penyakit ini disebut dengan eklampsia yang pada dasarnya sama dengan preeklampsia hanya saja memiliki tingkatan keparahan yang lebih berat.

Hipertensi Gestasional
Diagnosa hipertensi gestasional ditegakkan pada ibu hamil yang memiliki tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih untuk pertama kalinya pada masa kehamilan namun tidak ditemukan proteinuria. Hipertensi gestasional disebut hipertensi transient bila tidak berkembang menjadi preeklampsia dan tekanan darah kembali normal setelah 12 minggu post-partum.


Klasifikasi Hipertensi Gestasional:
  • Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg yang ditemukan untuk pertama kalinya pada saat kehamilan
  • Tidak ditemukan proteinuria
  • Tekanan darah kembali normal < 12 minggu post-partum
  • Diagnosa akhir hanya bisa ditegakkan pada masa post-partum
  • Kemungkinan ditemukan gejala-gejala yang menyerupai preekalmpsia, seperti; nyeri epigastrium atau trombositopenia

Hipertensi Kronis
Semua gangguan hipertensi kronis apapun penyebabnya merupakan predisposisi terhadap timbulnya preeklampsia maupun eklampsia. Diagnosa dari hipertensi kronik didapatkan dari;
  • Hipertensi antesendens pada kehamilan
  • Hipertensi yang terdeteksi sebelum kehamilan 20 minggu
  • Hipertensi yang persisten dalam waktu yang lama setelah melahirkan

KRITERIA DIAGNOSIS
Terdapat 2 tanda dari trias tanda utama : hipertensi, edema, proteinuria.
Hipertensi dapat ditegakkan dengan kenaikan tekanan sistolik 30 mmhg diatas tekanan yang biasa atau ditemukan tekanan mencapai 140 mmhg atau lebih, kenaikan tekanan diastolik naik 15 mmhg dari tekanan yang biasa atau ditemukan tekanan mencapai 90 mmhg atau lebih.
Edema: penimbunan cairan secara umum dan berlebihan dalam jaringan tubuh.
Proteinuri berarti konsentrasi protein dalam urin yang melebihi 0,3 g/liter dalam pemeriksaan urin 24 jam atau pemeriksaan kualitatif menunjukan +1 atau lebih urin sewaktu.

PENATALAKSANAAN
Tujuan dasar dari penatalaksanaan dari komplikasi kehamilan dari preeklampsia adalah:
·         Mencegah terjadinya eklampsia
·         Kelahiran anak dengan kemungkinan hidup yang besar
·         Persalinan dengan trauma yang seminimal mungkin dengan upaya menghindari kesulitan untuk persalinan berikutnya
·         Mencegah hipertensi yang menetap

Prenatal Care
Pada tingkat permulaan, preeklampsia tidak menunjukkan gejala-gejala sehingga dibutuhkan deteksi dini melalui prenatal care yang baik. Penentuan pemeriksaan prenatal hendaknya dilakukan setiap 4 minggu sampai minggu ke-28, kemudian dilanjutkan setiap 2 minggu sampai minggu ke-36, dan selanjutnya setiap minggu pada bulan-bulan akhir kehamilan. Pada pemeriksaan kehamilan hendaknya ditentukan tekanan darah, penambahan berat badan, adanya edema, dan proteinuria. Perhatian harus ditujukan pada ibu hamil yang memiliki faktor predisposisi terhadap preeklampsia, diantranya;
  • Nuliparitas
  • Riwayat keluarga preeklampsia dan eklampsia
  • Kehamilan ganda
  • Diabetes mellitus
  • Hipertensi kronis
  • Mola hidatidosa
  • Hidrops fetalis
Studi group WHO pada tahun 1987, telah mengumpulkan pelbagai faktor predisposisi tersebutr dalam suatu technical report series no 758, yaitu :
  1. Umur < 18 tahun atau ≥ 35 tahun
  2. Paritas
  3. Suku bangsa
  4. Keluarga
  5. Genetik :
-           Golongan darah
-          Konsanguitas
-          Jenis kelamin janin
  1. Nutrisi
-          Kalori dan protein
-          Vitamin, mineral
-          Berat badan
  1. Lingkungan
-          Masa perang, kelaparan dan musim kering
-          Iklim dan cuaca
-          Ketinggian
-          Perkotaan dan pedesaan
  1. Kebiasaan dan sosio ekonomi
-          Merokok
-          Kegiatan fisik
-          Sosio-ekonomi
  1. Hiper plasentosis
-           Kehamilan ganda
-          hidropsfetalis
-          Diabetes Melitus
-          Mola hidatidosa

Ibu hamil juga harus mengetahui tanda-tanda bahaya, yaitu sakit kepala, gangguan penglihatan, dan bengkak pada kaki dan tangan. Jika tanda-tanda ini muncul hendaknya segera datang untuk memeriksakan diri tanpa harus menunggu jadwal rutin. Beberapa cara pencegahan dapat dilakukan dengan perbaikan nutrisi dan intervensi farmakologis seperti obat anti hipertensi, asam salisilat, heparin, diuretikum, dan lain-lain.


TERAPI
Preeklamsi ringan
1.      Rawat inap. Istirahat (tirah baring/ tidur miring kekiri). Rawat jalan dilakukan apabila pasien menolak rawat inap. Dilakukan pemantauan tekanan darah dan protein urine setiap hari.
2.      Pantau tekanan darah 2 kali sehari, dan proteinuri setiap hari.
3.      Dapat dipertimbangkan pemberian suplementasi obat-obatan antioksidan atau anti agregasi trombosit
4.      Roboransia
5.      Diberikan kortikosteroid pada kehamilan 24-34.
6.      Berikan Methyl Dopa 3 x 250 mg apabila tekanan diastol diantara 100-110 mmHg.
7.      Dilakukan pemantauan kesejahteraan janin dengan pemeriksaan USG (Doppler) dan CTG.
8.      Jika tekanan diastol turun sampai normal, pasien dipulangkan dengan nasihat untuk istirahat dan diberi penjelasan mengenai tanda-tanda preeklamsi berat. Kontrol 2 kali seminggu. Bila tekanan  diastol naik lagi, pasien dirawat kembali.
9.      Jika tekanan diastol naik dan disertai dengan tanda-tanda preeklamsi berat, pasien dikelola sebagai preeklamsi berat.
10.  Bila umur kehamilan > 37 minggu, pertimbangkan terminasi kehamilan.
11.  Persalinan dapat dilakukan secara spontan.
Preeklamsi Berat
Rawat bersama dengan Bagian yang terkait (Penyakit Dalam, Penyakit Saraf, Mata, Anestesi,dll).
A. Perawatan aktif
a. Indikasi
    Bila didapatkan satu/lebih keadaan di bawah ini :
i. Ibu :
1. kehamilan > 37 minggu
2. adanya gejala impending eklamsi
ii. Janin :
1. adanya tanda-tanda gawat janin
2. adanya tanda-tanda IUGR
iii. Laboratorik :
adanya HELLP syndrome
b. Pengobatan medisinal
  1. Infus larutan ringer laktat
  2. Pemberian obat : MgSO4
Cara pemberian MgSO4 :
1.      Pemberian melalui intravena secara kontinyu (infus dengan infusion pump):
a. Dosis awal :
2 gram (10 cc MgSO4 20 %) dilarutkan kedalam 100 cc ringer lactat, diberikan selama 10-15 menit.
b. Dosis pemeliharaan:
6 gram dalam 500 cc cairan RL, diberikan dengan kecepatan 1-2 gram/jam ( 30 tetes per menit)
 Syarat-syarat pemberian MgSO4
1. Harus tersedia antidotum MgSO4, yaitu kalsium glukonas 10% (1 gram dalam 10 cc) diberikan i.v dalam waktu 3-5 menit.
2. Refleks patella (+) kuat
3. Frekuensi pernafasan > 16 kali per menit
4. Produksi urin > 30 cc dalam 1 jam sebelumnya (0,5 cc/kg bb/jam)
Sulfas magnesikus dihentikan bila :
1. Ada tanda-tanda intoksikasi
2. Setelah 24 jam pasca salin
 3. Dalam 6 jam pasca salin sudah terjadi perbaikan tekanan darah
    (normotensif)
3. Diuretikum tidak diberikan kecuali bila ada
    a. edema paru
    b. payah jantung kongestif
    c. edema anasarka
4. Antihipertensi diberikan bila :
1. Tekanan darah :
- Sistolik  > 180 mmHg
- Diastolik > 110 mmHg        
2.   Obat-obat antihipertensi yang diberikan :
Ø  Nifedipin : 10 mg, dan dapat diulangi setiap 30 menit (maksimal 120 mg/24 jam) sampai terjadi penurunan tekanan darah.
Ø  Hidralazin, yang diberikan 5 mg i.v. pelan-pelan selama 5 menit. Dosis dapat diulang dalam waktu 15-20 menit sampai tercapai tekanan darah yang diinginkan.
Ø  Labetalol 10 mg i.v. Apabila belum terjadi penurunan tekanan darah, maka dapat diulangi pemberian 20 mg setelah 10 menit, 40 mg pada 10 menit berikutnya, diulangi 40 mg setelah 10 menit kemudian, dan sampai 80 mg pada 10 menit berikutnya.
Ø  Bila tidak tersedia, maka dapat diberikan : Klonidin 1 ampul dilarutkan dalam 10 cc larutan garam faal atau air untuk suntikan. Disuntikan mula-mula 5cc i.v. perlahan-lahan selama 5 menit. Lima menit kemudian tekanan darah diukur, bila belum ada penurunan maka diberikan lagi sisanya 5 cc i.v. selama 5 menit. Kemudian diikuti dengan pemberian secara tetes sebanyak 7 ampul dalam 500 cc dextrose 5% atau Martos 10. Jumlah tetesan dititrasi untuk mencapai target tekanan darah yang diinginkan, yaitu penurunan Mean Arterial Pressure (MAP) sebanyak 20% dari awal. Pemeriksaan tekanan darah dilakukan setiap 10 menit sampai tercapai tekanan darah yang diinginkan, kemudian setiap jam sampai tekanan darah stabil.

5. Kardiotonika
Indikasi pemberian kardiotonika ialah, bila ada : tanda-tanda payah jantung. Jenis kardiotonika yang diberikan  : Cedilanid-D
 Perawatan dilakukan bersama dengan Sub Bagian  Penyakit Jantung
6. Lain-lain
1. Obat-obat antipiretik
Diberikan bila suhu rektal di atas 38,5 0 C
Dapat dibantu dengan pemberian kompres dingin atau alkohol
2. Antibiotika
    Diberikan atas indikasi
3. Antinyeri
Bila pasien gelisah karena kontraksi rahim dapat diberikan petidin HCl 50-75 mg sekali saja.
c. Pengelolaan Obstetrik
Cara terminasi kehamilan
Belum inpartu :
1. Induksi persalinan :
     amniotomi + tetes oksitosin dengan syarat skor Bishop > 6
2. Seksio sesarea bila ;
a. Syarat  tetes oksitosin  tidak dipenuhi atau adanya kontra indikasi tetes oksitosin
b. 8 jam sejak dimulainya tetes oksitosin  belum masuk fase aktif
c. Fase laten lama atau memanjang.
Pada primigravida lebih diarahkan untuk dilakukan terminasi dengan seksio sesarea.
Sudah inpartu :
Kala I
Fase laten :
Amniotomi + tetes oksitosin dengan syarat skor Bishop > 6.
Seksio sesarea bila Primigravida dan syarat bishop < 6
 Fase aktif :
1.      Amniotomi
2.      Bila his tidak adekuat, diberikan tetes oksitosin.
3.      Bila 6 jam  setelah amniotomi  belum  terjadi  pembukaan  lengkap,  pertimbangkan  seksio  sesarea.
Catatan : amniotomi dan tetes oksitosin dilakukan sekurang-kurangnya 15 menit setelah pemberian pengobatan medisinal
Kala II :
Pada  persalinan pervaginam, maka kala II diselesaikan dengan partus buatan.


B. Pengelolaan konservatif
a. Indikasi :
Kehamilan preterm (< 37 minggu) tanpa disertai tanda-tanda impending eklamsi dengan keadaan janin baik
b. Pengobatan medisinal :
Sama dengan perawatan medisinal pengelolaan secara aktif. Hanya dosis awal MgSO4 tidak diberikan i.v cukup i.m saja.(MgSO4 40%, 8 gram i.m.). Pemberian MgSO4 dihentikan bila sudah mencapai tanda-tanda preeklamsi ringan, selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam.
c. Pengelolaan obstetrik
1. Selama perawatan konservatif, tindakan observasi dan evaluasi sama seperti perawatan aktif, termasuk pemeriksaan tes tanpa kontraksi dan USG untuk memantau kesejahteraan janin
2. Bila setelah 2 kali 24 jam tidak ada perbaikan maka keadaan ini dianggap sebagai kegagalan pengobatan medisinal dan harus diterminasi. Cara terminasi sesuai dengan pengelolaan aktif.

KOMPLIKASI
  Solutio plasenta
  Hipofibrinogenemia
  Hemolisis
  Perdarahan otak
  Kelainan Mata
  Edema paru
  Nekrosis hati
  Sindrom HELLP (haemolisis elevated liver enzymes dan low platelet)
Weinstein 1982 yang mula-mula menggunakan istilah Hellp syndrome untuk kumpulan gejala Hemolysis, Elevated Liver enzym, dan Low Platelets yang merupakan gejala utama dari  sindroma ini.
Diagnosis laboratorium :
·         Hemolisis :
-       adanya sel-sel spherocytes, schistocytes, triangular dan sel burr pada hapus darah perifer
-       kadar bilirubin total > 1,2 mg%
·         Kenaikan kadar enzim hati :
-       kadar SGOT > 70 IU/l
-       kadar LDH >600 IU/l
·         Trombositopeni :
-       kadar trombosit < 100 x 103/mm3

Klasifikasi berdasarkan pada beratnya trombositopeni (Mississippi) :
1.      Kelas 1 : kadar trombosit < 50x103/mm3
2.      Kelas 2 : kadar trombosit  50-100 x 103/mm3
3.      Kelas 3 : kadar trombosit > 100 x 103/mm3
Klasifikasi berdasarkan lengkap/ tidaknya gejala (Memphis):
  1. Complete Hellp:
-          Anemia hemolitik mikroangiopatik pada PEB
-          LDH > 600 IU/L
-          SGOT > 70 IU/L
-          Trombositopenia < 100.000/mm3
  1. Partial Hellp :
-          Bila ditemukan satu atau dua gejala diatas.
  Kelainan ginjal
  Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intra-uterin

Tidak ada komentar: